Pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) perkara pidana hanya terpidana dan ahli warisnya. Hal tersebut ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang diucapkan Ketua MK Arief Hidayat, Kamis (11/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon,” ujar Arief didampingi para hakim konstitusi lainnya pada putusan uji materi Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP).
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan,
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”
Dalam pendapat yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah menyatakan dalam putusan Mahkamah sebelumnya dengan Nomor 16/PUU-VI/2008 telah jelas hak untuk mengajukan permohonan PK adalah milik terpidana atau ahli warisnya, bukan hak jaksa/penuntut umum. Jika jaksa/penuntut umum melakukan PK, padahal sebelumnya telah mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, memberikan kembali hak kepada jaksa/penuntut umum untuk mengajukan PK akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan.
Manahan melanjutkan, ketika PK yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum diterima, maka telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari PK itu sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek PK. “Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek PK menurut undang-undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek PK,” terangnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, lanjut Manahan, Mahkamah memandang penting untuk menegaskan kembali norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain, selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. “Pemaknaan yang berbeda terhadap norma a quo akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya inkonstitusional. Untuk itu, Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil norma Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menjadi inkonstitusional jika dimaknai lain,” tandasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menganggap berlakunya Pasal 263 ayat (1) KUHAP merugikan hak konstitusional Pemohon. Suami Pemohon pernah dituntut melakukan tindak pidana korupsi dan telah sampai pada semua tahapan peradilan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000. Kemudian, suami Pemohon bebas dari tuntutan pidananya begitu juga pada tingkat kasasi.
Namun pada tahun 2009, jaksa/penuntut umum mengajukan PK atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan tersebut, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara. Pemohon keberatan atas pengajuan PK tersebut karena yang mengajukan adalah jaksa penuntut umum. Hal tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. (Lulu Anjarsari/lul)