Ketentuan menyerahkan penanganan masalah yang dialami oleh TKI kepada instansi ketenagakerjaan Pemerintah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UU PPTKILN), justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para TKI. Meskipun tersebut instansi bidang ketenagakerjaan, dalam hal ini BNP2TKI, pada kenyataannya semua pihak lepas tanggung jawab dalam permasalahan yang dialami TKI.
Salah satu contoh persoalan tersebut adalah kasus yang dialami Wanifah, TKI yang bekerja di Hongkong selama 9 tahun. Rukmini, kakak Wanifah, menyatakan adiknya sampai saat ini tidak diketahui kabarnya akibat terjebak kasus narkoba. Rukmini hadir dalam sidang uji materi UU PPTKILN sebagai saksi yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XIV/2016, Rabu (11/5) di ruang sidang MK.
Rukmini menjelaskan, Wanifah hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya setelah ditangkap akibat kasus narkoba di negara tempat dia bekerja. Ia menuturkan adiknya ditangkap ketika hendak pulang ke Indonesia. Padahal, lanjut Rukmini, adiknya hanya dititipi barang yang tidak diketahui apa isinya. Menurutnya, pihak keluarga telah melapor kepada Kementerian Luar Negeri dan dijanjikan akan diselesaikan. Namun sampai saat ini pihak keluarga tidak mendapatkan kabar apa-apa.
“Waktu itu kan ada si (pejabat) Kemlu yang datang ke Cirebon, lah langsung, aku kan dapat panggilan yang keluarga yang bermasalah, langsung bilangnya, ‘Ini sedang diusahakan, ada pengacara lagi diusahakan’. Tapi ternyata sekarang belum ada kabar apa-apa,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Persoalan yang sama juga disampaikan oleh Saksi lainnya. Purwanto, yang bekerja sebagai ABK mengaku sama sekali tidak mendapat upah selama bekerja sebagai ABK Lakemba. Ia menuturkan sudah menepuh cara sesuai prosedur dengan mendatangi BNP2TKI, tapi justru diminta ke Kementerian Luar Negeri. Hingga hari ini ia masih belum mendapatkan jalan keluar atas masalah yang dialami. “Saya sudah di BNP2TKI, dilempar ke Kemenlu, Kemenlu dilempar ke Kemenaker, habis itu dikembalikan lagi ke BNP2TKI. Sampai sekarang tidak ada keputusan apa penyelesaian sama sekali,” paparnya.
Mekanisme Semrawut
Koordinator Crisis Center Lembaga Kemanusiaan Migrant Institute Dompet Dhuafa Nur Salim yang hadir sebagai Ahli Pemohon menguatkan keterangan dari para saksi pemohon. Menurutnya, kerap kali ditemukan di lapangan, BNP2TKI justru mengambil keuntungan dari TKI yang sedang mengalami masalah. Padahal seharusnya BNP2TKI bertanggung jawab dan membantu TKI yang sedang mengalami masalah.
Ia melanjutkan, keberadaan Pasal 85 ayat (2) UU PPTKILN yang diuji oleh Pemohon tidak menjelaskan mekanisme yang harus ditempuh dalam menyelesaikan sengketa. Padahal, lanjutnya, mekanisme adalah hal penting yang harus diperhatikan karena para TKI mengalami masalah pada semrawutnya mekanisme penyelesaian masalah.
“Berbicara terkait dengan Pasal 85 ayat (2), di sini saya mengatakan bahwa belum adanya kejelasan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perselisihan ketika TKI mengalami persoalan pada saat sebelum berangkat. Siapa yang bertanggung jawab? Selama ini kami harus mengadu ke beberapa pintu. Kami mengadu ke BNP juga, kami mengadu ke Naker juga, dan kami mengadu ke Kemlu juga. Ini karena ketiadaan mekanisme yang belum jelas,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, Serikat Pekerja Luar Negeri sebagai Pemohon menganggap UU PPTKILN merugikan hak konstitusional para TKI yang bekerja di luar negeri, terutama Pasal 85 ayat 2 UU PPTKILN. Pemohon merasa ketentuan a quo hanya mengatur upaya penyelesaian perselisihan TKI dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) akibat dari penyimpangan perjanjian penempatan sebatas di tingkat instansi bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota, provinsi atau pemerintah (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI/BNP2TKI).
Menurut Pemohon, upaya penyelesaian pada tingkatan BNP2TKI, menimbulkan persoalan hukum bagi Pemohon yang berakibat pada kepastian hukum TKI untuk mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi oleh PPTKIS, apabila tidak mencapai mufakat. (Lulu Anjarsari/lul)