Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon uji materi Pasal 11 Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (UU Pemprov DKI Jakarta) hadir dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (11/5) untuk menyampaikan perbaikan permohonan.
“Perbaikan pertama, terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi karena sebelumnya tidak dimasukkan dalam undang-undang yang kita uji. Sekarang kita masukkan bahwa Mahkamah berwenang untuk menguji pasal a quo, Pasal 11 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007,” kata Muhammad Sholeh dalam sidang perkara Nomor 37/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Selain itu, Pemohon juga memperkuat dalil-dalil permohonannya. Dalam penjelasan undang-undang yang diuji, dinyatakan sebesar 50% perolehan suara sebagai syarat kemenangan pilkada di Jakarta lantaran masyarakat Jakarta multikultural. Hal tersebut, dinilai Pemohon merupakan argumentasi yang keliru. “Padahal kita tahu hampir semua provinsi itu juga multikultural, misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, atau daerah-daerah lain. Ketika argumentasi harus 50% perolehan suara, menurut kami, itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015,” papar Sholeh.
Pemohon pun menegaskan, putaran kedua dalam Pilkada DKI Jakarta akan sangat merugikan Pemohon. “Sebab Pemohon ini punya usaha di Jakarta. Ketika putaran pertama belum selesai, diharuskan puturan kedua. Tentu itu akan merugikan secara ekonomi bagi Pemohon,” imbuh Sholeh.
Sebelumnya, Antonius Iwan Dwi Laksono, warga DKI Jakarta selama 16 tahun dan pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta, menilai ketentuan Pasal 11 UU Pemrov DKI Jakarta sebagai pemborosan anggaran negara. Pasal tersebut menyebutkan, mekanisme penentuan pemilihan itu harus 50 persen. Jika tidak tercapai 50 persen, harus ada putaran kedua. Sementara UU No. 8 Tahun 2015 sudah tidak mengatur hal tersebut, mekanismenya menggunakan suara terbanyak sebagai pemenang.
Menurut Pemohon, Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta menjadi persoalan karena anggaran pada Putaran Kedua Pilkada 2012 DKI Jakarta mencapai Rp200 miliar. Pemohon beranggapan ketentuan tersebut menjadi pembuangan uang negara yang sia-sia. Pemohon sebagai pemilih dan warga negara pembayar pajak, merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut. Anggaran putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, menurut Pemohon, jauh lebih dipergunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat seperti biaya pendidikan, kesehatan, perumahan maupun kesejahteraan masyarakat lainnya.
Hal lainnya, Pemohon berdalih bahwa Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta tidak mengakomodasi calon tunggal dalam Pilkada DKI Jakarta. Padahal menurut Pemohon, Jakarta berpotensi untuk calon tunggal. Pemohon mencontohkan Risma sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada Surabaya pernah digagalkan oleh parpol. (Nano Tresna Arfana/lul)