Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Chairul Huda menyatakan kewenangan seponering yang dimiliki Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) berpotensi digunakan secara politis sebagai bentuk penyelundupan hukum.
Hal tersebut disampaikan Chairul sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan uji materi UU Kejaksaan dengan nomor perkara 29/PUU-XIV/2016, Selasa (10/5) di ruang sidang MK. “Dari sisi ini, persoalan pokok yang berkenaan dengan permohonan uji materi Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan yang dirasakan banyak pihak telah digunakan secara politis sebagai bentuk ‘penyelundupan hukum’ dan untuk melindungi individu tertentu dari proses hukum,” ujar Chairul.
Menurutnya, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum sebagai kewenangan Jaksa Agung, pada satu sisi merupakan otonomi pembentuk undang-undang. Namun, ia mempertanyakan apakah kewenangan tersebut telah menjamin kepastian hukum.
“Persoalannya adalah apakah rumusan yang telah diberikan pembentuk undang-undang dalam mewadahi pemberian kewenangan tersebut telah menjamin kepastian hukum, proses yang tidak memihak dan perlakuan yang adil dan menempatkan setiap orang memiliki persamaan derajat di muka hukum,” urai Chairul kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang bersifat politis sebagai bentuk ‘penyelundupan hukum’ dan melindungi individu tertentu dari proses hukum. Ia menilai kasus tersebut sebagai bentuk ‘penyelundupan hukum’ lantaran kewenangan tersebut digunakan Jaksa Agung setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap perkara itu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. “Dikatakan digunakan untuk melindungi individu tertentu dari proses hukum, karena pokok dasar pengesampingannya bukan menyangkut materi perkara tetapi individunya,” tegas Chairul.
Sebelumnya, Irwansyah Siregar sebagai Pemohon merasa diperlakukan diskriminatif dengan berlakunya ketentuan dalam UU Kejaksaan. Pemohon menjelaskan, pada 18 Februari 2004 para Pemohon mendapatkan penyiksaan ketika ditangkap oleh aparat kepolisian, yang dipimpin Novel Baswedan selaku Kepala Satuan Reserse Polres Bengkulu dalam kasus pencurian sarang burung walet.
Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya kewenangan Jaksa Agung yang dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum menyebabkan para pemohon tidak mendapat keadilan ketika teman Pemohon, Mulyan Johani alias Aan, meninggal dunia karena tertembak. “Hingga pada tahun 2012, Pemohon menuntut keadilan dan meminta dilakukannya pengusutan atas peristiwa penembakan itu, yang kemudian dilakukan penyidikan oleh kepolisian, di mana Novel kemudian ditetapkan menjadi tersangka dalam perkara penembakan itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Pemohon menjelaskan tanggal 29 Januari 2016, surat dakwaan atau berkas perkara penembakan terhadap 6 orang dengan tersangka Novel telah dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke Pengadilan Negeri Kota Bengkulu. Namun, berkas tersebut ditarik kembali dengan alasan untuk diperbaiki atau disempurnakan.
“Akan tetapi, ternyata surat dakwaan terhadap Novel tidak pernah diajukan kembali ke Pengadilan Negeri Bengkulu, dan jaksa penuntut umum justru mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor B-03/N.7.10/E.P.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 atau selanjutnya disebut SKP2 untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti dan telah kedaluwarsa.” ujarnya.
Pemohon menilai kejahatan yang dilakukan Pemohon dalam kasus pencurian sarang burung walet bobotnya jauh lebih ringan dibandingkan dengan perkara penembakan terhadap 6 orang tersangka. Perkara tersebut telah diadili dan diputus sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, kata Supriyadi, orang-orang yang sedang bekerja pada KPK, maupun orang-orang yang pernah bekerja pada KPK seolah-olah diberikan dan/atau mempunyai hak suprakonstitusional atau tidak terikat konstitusi dan/atau di atas konstitusi untuk tidak diadili di depan pengadilan yang sah dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.
Dengan fakta-fakta itu, Pemohon menilai bahwa wewenang yang dimiliki Jaksa Agung itu sangat rentan akan disalahgunakan sebagai alat untuk memberikan kekebalan hukum terhadap pihak-pihak tertentu yang akhirnya menyebabkan pelanggaran dan kerugian hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan terbebas dari perlakuan diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)