Pemerintah melihat tidak ada yang salah dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang digugat oleh Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRP) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto selaku wakil Pemerintah dalam sidang Pengujian UU MD3 dan UU Pemda) yang digelar Selasa (26/4) di gedung MK.
Pasal-pasal yang digugat oleh Pemohon pada intinya memang mengatur mengenai unsur keanggotaan dan pimpinan DPRD provinsi harus berasal dari partai politik. Pemerintah melihat ketentuan dimaksud memang berlaku secara umum pada daerah-daerah lain di Indonesia, namun tidak termasuk daerah istimewa maupun daerah khusus, seperti Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Pemohon sebelumnya menilai ketentuan dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi menimbulkan ketidakadilan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua. Seharusnya, masyarakat asli Papua lewat MRP bias mengisi kursi pimpinan maupun anggota di DPRD.
Terhadap dalil tersebut, Pemerintah seperti yang disampaikan Widodo menyampaikan bahwa UU Pemda justru telah memberikan kepastian hukum dengan tidak mengatur secara khusus mengenai pengisian unsur pimpinan di DPR Provinsi Papua. Pasal 406 UU Pemda mengamanatkan, meski ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda berlaku, namun ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU Pemda.
Artinya, Pemerintah membenarkan adanya pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPR Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat selama tidak bertentangan dengan UU Pemda dan Konstitusi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Berdasarkan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah jelas bahwa pengaturan mengenai pimpinan dan alat kelengkapan DPRP bukanlah menjadi materi muatan Undang-Undang Pemda, melainkan harus diatur secara tersendiri dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Widodo membacakan keterangan Pemerintah yang dibubuhi tandatangan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo.
Lebih lengkap, Widodo menjelaskan, dalil Pemohon yang menyatakan adanya ketidakpastian hukum dalam undang-undang a quo tidak tepat. Sebab, Pemerintah berpendapat Undang-Undang Pemda justru telah memberikan kepastian hukum dengan tidak mengatur mengenai secara khusus mengenai pengisian unsur pimpinan di DPR Provinsi Papua.
“Dalil tersebut justru mempertegas bahwa tidak perlu ada pemberlakuan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemda mengingat sudah disadari sepenuhnya bahwa undang-undang a quo (UU Pemda) bersifat umum berlaku untuk provinsi-provinsi lainnya,” terangnya.
Filosofi Otsus
Widodo juga menjelaskan keistimewaan dalam pengisian jabatan pimpinan dan keanggotaan di DPR Provinsi Papua dan Papua Barat tersebut sejalan dengan filosofi Otsus. Pada dasarnya, lanjut Widodo, Otsus bagi Papua diberikan untuk melakukan kewenangan yang luas bagi keduanya dalam rangka mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, bila timbul konflik seperti pengisian jabatan pimpinan dan anggota DPR provinsi, Pemerintah menyarankan penyelesaian permasalahan antar penyelenggara negara seperti dimaksud hendaknya dapat diselesaikan secara internal terlebih dahulu berdasarkan asas musyawarah mufakat guna mencapai kesepakatan terbaik.
Pemerintah justru menyarankan agar para Pemohon menarik kembali permohonan perkara No. 28/PUU-XIV/2016 tersebut demi menjaga wibawa penyelenggaraan ketatanegaraan.
“Dalam rangka menjaga wibawa penyelenggaraan ketatanegaraan, Pemerintah menyarankan kepada Para Pemohon yang dalam hal ini adalah Anggota MRP Papua Barat untuk mempertimbangkan menarik kembali pengujian ini,” ujar Widodo di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sidang kali ini seharusnya juga dihadiri oleh DPR selaku legislator. Namun, melalui surat yang dilayangkan ke Kepaniteraan MK, DPR menyatakan tidak dapat hadir pada kesempatan kali ini.
“Hari ini sebetulnya kita mendengar keterangan presiden dan DPR, tapi kemudian DPR mengajukan surat berhalangan hadir karena bertepatan dengan kegiatan rapat-rapat yang tidak mungkin ditinggalkan,” tutur Maria. (Yusti Nurul Agustin/lul)