Pemerintah melimpahkan tanggung jawab dalam melindungi TKI yang mengalami masalah di luar negeri melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKI). Demikian disampaikan oleh Koordinator Advokasi Pusat Pusat Sumber Daya Buruh Migran Yogyakarta Abdul Rahman Sitorus dalam sidang keempat perkara Nomor 12/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN), Selasa (26/4) di Ruang Sidang MK.
Menurut Sitorus selaku ahli yang dihadirkan Pemohon, pelimpahan tanggung jawab tersebut dilakukan pemerintah kepada swasta, terutama pada Pasal 85 ayat (2) UU PPTKI yang diuji Pemohon. Pasal tersebut menyatakan “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”. Hal itu menunjukkan pemerintah tidak bisa bertindak sendiri dalam melindungi TKI yang sudah memberika devisa bagi negara.
“Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri untuk melindungi TKI di luar negeri, karena itu perlu melibatkan institusi swasta, antara lain PPTKIS dan perusahaan asuransi, dalam praktiknya itu adalah perusahaan asuransi komersial. Ketiga perwakilan PPTKIS di luar negeri ini sudah di-judicial review di MK dan dinyatakan tidak lagi wajib (melindungi TKI, red), dan yang keempat ini adalah agensi asing. Jadi negara memang bermaksud merasa tidak mampu melindungi hak asasi warga negaranya di luar negeri, dia mau melimpahkan tanggung jawab ini kepada PPTKIS,” paparnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
TKI Jadi Saksi
Samain, mantan TKI yang pernah mengalami masalah ketika bekerja di Vietnam, menjadi saksi yang dihadirkan SPILN. Dalam kesaksiannya, Samain menyatakan ketentuan UU PPTKI membuatnya yang mengalami kekerasan di Vietnam tidak mendapat kepastian hukum. Kasusnya terabaikan sejak 2013 sampai sekarang tanpa adanya jalan keluar.
“Saya terkena kecelakaan dan tadinya saya masih ingin bekerja, tapi dipulangkan. Tapi gaji dan asuransi belum dibayarkan selama kita bekerja 18 bulan waktu itu. Sama sekali. Pas itu pas ke PT itu katanya nunggu saja di rumah. Pas saya tunggu sudah 3 bulan, saya datang lagi ke PT katanya belum kelar juga katanya nunggu saja di rumah lagi selama 6 bulan katanya. Pas itu ya sampai sekarang ini belum dibayarkan. Saya juga bingung mengadu ke mana,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menganggap UU PPTKI merugikan hak konstitusional para TKI yang bekerja di luar negeri terutama Pasal 85 ayat 2 UU PPTKI. Pemohon merasa ketentuan a quo hanya mengatur upaya penyelesaian perselisihan TKI dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) akibat dari penyimpangan perjanjian penempatan sebatas di tingkat instansi bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI/BNP2TKI).
Menurut Pemohon, upaya penyelesaian pada tingkatan BNP2TKI, menimbulkan persoalan hukum bagi Pemohon yang berakibat pada kepastian hukum TKI untuk mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi oleh PPTKIS, apabila tidak mencapai mufakat. (Lulu Anjarsari/lul)