Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang dimohonkan oleh Ahmad Tojiwa Ram dkk. gugur. Demikian disampaikan Ketua MK Arief Hidayat selaku pemimpin sidang didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan, Kamis (31/3).
Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang MK, ditegaskan bahwa sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Sedangkan pada Pasal 39 ayat (2), dinyatakan bahwa dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah telah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu, 23 Maret 2016 pukul 10.15 WIB, terlambat 15 menit dari jadwal karena menunggu kehadiran Pemohon. Namun para Pemohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah dan patut oleh Mahkamah dengan Surat Panitera Mahkamah Konstitusi perihal Panggilan Sidang.
Selain itu Mahkamah, melalui juru panggil, sebelum hari persidangan telah menghubungi para Pemohon melalui telepon dan mengirim pemberitahuan melalui layanan short message service (SMS). Namun para Pemohon tidak dapat dihubungi dan tidak memberikan keterangan apapun. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah menilai para Pemohon tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengajukan permohonan a quo. Dalam rangka memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, Mahkamah harus menyatakan permohonan para Pemohon gugur.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon gugur,” tandas Arief.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 26/PUU-XIV/2016 tersebut, diajukan oleh dua belas orang mahasiswa Universitas Hasanudin (Unhas) yang merasa dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Keduabelas mahasiswa tersebut adalah Ahmad Tojiwa Ram, Wahyu Hidayat, Zulkifli Rahman, Sri Wahyuni, Giovani, Andi Azhim Fachreza Aswal, Wahyudi Kasrul, Muhammad Afdal Yanuar, Abrar, Febri Maulana, Asrullah, dan Dewi Intan Anggraeni.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka telah dilanggar dengan berlakunya UU a quo. Pelanggaran hak konstitusional tersebut terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara norma dengan pelaksanaan UU. Selanjutnya, para Pemohon menilai, adanya prinsip nirlaba dalam pengelolaan pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 63 huruf c UU a quo akan membuka kemungkinan bagi pendidikan tinggi untuk merubah orientasi pelayanan, dari lembaga pendidikan yang berorientasi murni sebagai wadah memperoleh pendidikan menuju lembaga pendidikan yang berorientasi bisnis dan usaha. Hal tersebut akan berdampak buruk pada iklim pendidikan di Indonesia, dimana akses mendapatkan pendidikan yang baik menjadi mahal karena sistem pengelolaan pendidikan yang dinilai kapitalis.
Para Pemohon menguraikan bahwa status Pendidkan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang dimiliki Unhas memunculkan konsekuensi untuk melakukan pengelolaan pendidikan tinggi secara mandiri dengan harta kekayaan terpisah dari negara. Hal ini dinilai para Pemohon akan berdampak pada semakin mahalnya biaya pendidikan yang kemudian akan membatasi akses terhadap pendidikan yang berkualitas bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi. Oleh karena itu dalam petitum-nya, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan UU Dikti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)