Kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang termaktub dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, digugat dua orang mantan terpidana kasus pencurian sarang burung walet, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi.
Adapun Pasal 35 huruf c menyatakan,
“Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang:
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;”
Sedangkan penjelasannya menyatakan,
“Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
Dalam sidang pendahuluan Rabu (30/3), para Pemohon melalui tim kuasa hukumnya merasa diperlakukan diskriminatif dengan berlakunya ketentuan tersebut. Salah satu kuasa hukum para Pemohon, Sunggul Hamonangan Sirait, mengatakan pada 18 Februari 2004 para Pemohon dalam Perkara 29/PUU-XIV/2016 itu mendapatkan penyiksaan ketika ditangkap oleh aparat kepolisian, yang dipimpin Novel Baswedan selaku Kepala Satuan Reserse Polres Bengkulu dalam kasus pencurian sarang burung walet.
Kepada majelis hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, kuasa hukum para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya kewenangan Jaksa Agung yang dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sebagai mana disebutkan dalam pasal tersebut, menyebabkan para pemohon tidak mendapat keadilan.
Sebelumnya, para Pemohon beserta 3 rekan yang tertangkap bersama, minus Mulyan Johani alias Aan yang telah meninggal dunia karena tertembak, dijatuhi hukuman penjara 8 bulan sampai dengan 12 bulan penjara. Menurut Pemohon, hukuman tersebut telah selesai dijalani oleh Para Pemohon. “Hingga pada tahun 2012, Pemohon menuntut keadilan dan meminta dilakukannya pengusutan atas peristiwa penembakan itu, yang kemudian dilakukan penyidikan oleh kepolisian, di mana Novel kemudian ditetapkan menjadi tersangka dalam perkara penembakan itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Pemohon menjelaskan tanggal 29 Januari 2016, surat dakwaan atau berkas perkara penembakan terhadap 6 orang dengan tersangka Novel telah dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke Pengadilan Negeri Kota Bengkulu. Namun, berkas tersebut ditarik kembali dengan alasan untuk diperbaiki atau disempurnakan.
“Akan tetapi, ternyata surat dakwaan terhadap Novel tidak pernah diajukan kembali ke Pengadilan Negeri Bengkulu, dan jaksa penuntut umum justru mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor B-03/N.7.10/E.P.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 atau selanjutnya disebut SKP2 untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti dan telah kedaluwarsa.” ujarnya.
Anggota tim Kuasa hukum Pemohon lainnya, Ignasius Supriyadi menjelaskan kejahatan yang dilakukan Pemohon dalam kasus pencurian sarang burung walet bobotnya jauh lebih ringan dibandingkan dengan perkara penembakan terhadap 6 orang tersangka. Perkara tersebut telah diadili dan diputus ejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, kata Supriyadi, orang-orang yang sedang bekerja pada KPK, maupun orang-orang yang pernah bekerja pada KPK seolah-olah diberikan dan/atau mempunyai hak suprakonstitusional atau tidak terikat konstitusi dan/atau di atas konstitusi untuk tidak diadili di depan pengadilan yang sah dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.
Dengan fakta-fakta itu, Pemohon menilai bahwa wewenang yang dimiliki Jaksa Agung itu sangat rentan akan disalahgunakan sebagai alat untuk memberikan kekebalan hukum terhadap pihak-pihak tertentu yang akhirnya menyebabkan pelanggaran dan kerugian hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan terbebas dari perlakuan diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Tahun (UUD) 1945.
Berdasar argumentasi tersebut, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 35 huruf c beserta penjelasannya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi jika tidak dimaknai “tidak dimaksudkan untuk memberikan kekebalan hukum kepada orang-orang yang sedang bekerja maupun pernah bekerja pada KPK atau institusi atau lembaga apa pun yang bergerak dan/atau berkaitan, atau menjalankan kegiatan anti korupsi, atau kepada penggiat antikorupsi agar tidak diadili di depan pengadilan yang sah di Negara Republik Indonesia”.
Terhadap pemaparan tim kuasa hukum Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan Pemohon untuk lebih mendeskripsikan kerugian konstitusional yang dialaminya. “Karena di sini yang diutamakan bukan kasus konkretnya, tapi adalah pertentangan antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar, itu yang perlu.” ujar Maria.
Menurutnya, pemohon harus mampu menguraikan kerugian konstitusional yang dialami berdasar kasus konkret yang dialami Pemohon atas berlakunya pasal tersebut. Pemohon juga perlu menjelaskan pertentangan norma yang diuji terhadap pasal-pasal dalam UUD yang dijadikan batu uji.
Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Menurut Wahiduddin, pemohon harus mempertajam argumentasi-argumentasinya. “Bagaimana pertentangan norma yang Saudara akan uraikan karena hampir 90% dari posita itu, ya, cerita tentang kasus yang mestinya itu cukup pintu masuk, ya, tapi lalu dielaborasi mengenai ketentuan Pasal 35 huruf c itu,” ujarnya.
Wahiduddin pun menilai Pemohon belum menguraikan dengan jelas pertentangan tugas dan wewenang Jaksa Agung terhadap konstitusi. “Apakah kewenangan khusus itu tidak perlu lagi?” tanyanya.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo secara tegas meminta kepada para Pemohon untuk tidak terlalu banyak mengulas persoalan konkret yang dialami, “jadi, tidak usah terlalu kasus konkret ini diuraikan panjang-lebar yang memakan banyak halaman yang seperti ini. Yang penting justru poin-poin yang menjadi benang merah itu Anda pertegas saja.” Ujar Suhartoyo kepada kuasa hukum Pemohon.
Untuk itu, para pemohon diberi kesempatan melakukan perbaikan terhadap permohonan paling lama 14 hari setelah persidangan. (Ilham/lul)