Indonesia membutuhkan aturan yang memberikan sanksi pidana tak hanya kepada penyedia jasa asusila, namun juga kepada pelakunya. Hal tersebut disampaikan Pakar Hukum Islam Ahmad Zainal Abidin selaku ahli yang dihadirkan terdakwa kasus asusila artis, Robby Abbas, sebagai Pemohon uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang dengan nomor perkara 132/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Rabu (30/3), di ruang sidang pleno MK.
Zainal mengungkapkan, perzinahan maupun perselingkuhan merupakan pengganggu utama dalam rumah tangga yang akan berdampak bagi kehidupan sosial suatu negara jika didiamkan. Untuk itulah, jalur hukum dianggap penting menjadi jalan untuk menghentikan perusakan norma-norma sosial di masyarakat.
“Nah, di sini negara harus hadir, kehadirannya tidak lain adalah lewat hukum karena negara kita hukum dan memberikan sanksi hukum itu sangat bagus sekali karena ada di sana unsur jaminan, ada juga unsur efek jera yang tidak lain di sana juga ada unsur insurans sosial. Dari sinilah kalau memang tidak ada, harus diatur,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sependapat dengan keterangan ahli, Patrialis mengungkapkan ketika ia menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, telah ada masukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar memberikan sanksi yang sama baik kepada penyedia jasa maupun pelaku asusila. “Ini sebetulnya sudah masuk, Pak. Jadi, kita tidak lagi mengklasifikasi perzinaan itu hanya terbatas pada orang yang sudah punya status kawin atau belum kawin, tetapi adalah semua orang yang melakukan persetubuhan secara tidak sah. Oleh karena itu, keinginan Pemerintah pada waktu itu sudah lebih maju. Mari kita berdoa, Pak Ustad, mudah-mudahan pasal itu juga akan goal di DPR maupun di Pemerintah,” terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP sebab hanya mengatur pemidanaan bagi perantara atau penghubung jasa tindak asusila saja. Pasal 296 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Pasal 506 KUHP menyatakan, “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Sebelumnya, Pemohon ditangkap terkait kasus tindak asusila yang ditengarai melibatkan sejumlah artis di Indonesia dan didakwa dengan Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP. Pemohon kemudian divonis dengan hukuman penjara 1 tahun 4 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Oktober 2015 silam. Akan tetapi, para pihak yang menghubungi Pemohon untuk menggunakan jasa artis dengan memberikan imbalan sejumlah uang tidak dikenakan sanksi pidana. Dalam persidangan kasus Pemohon, para pihak tersebut hanya dijadikan saksi saja.
Pemohon menegaskan, Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP hanya dikenakan kepada seseorang yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul saja. Sedangkan terhadap pihak lain yang terlibat dalam tindakan tersebut secara langsung dan pihak yang mendapatkan keuntungan, tidak dikenakan pemidanaan. Pemberlakuan ketentuan yang seperti itu, menurut Pemohon, tidak mencerminkan hukum adat, hukum agama dan hukum nasional. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP inkonstitusional secara bersyarat. (Lulu Anjarsari/lul)