Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan untuk mendengar keterangan DPR dan ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang dimohonkan oleh Komisioner KY Periode 2010-2015 Taufiqurrohman Syahuri, Senin (28/3). Sayangnya, DPR maupun ahli Pemohon tidak menghadiri sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Meski DPR tidak hadir, namun Mahkamah menerima pemberitahuan ketidakhadiran dari DPR dalam sidang perkara Nomor 125/PUU-XIII/2015 tersebut. Arief menyampaikan bahwa Kepala Badan Keahlian DPR melayangkan surat tertanggal 17 Maret 2016 yang pada intinya menyampaikan DPR tidak dapat menghadiri persidangan karena bertepatan dengan masa reses.
Sementara itu, Vivi Ayunita selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan bahwa ahli Pemohon juga tidak dapat menghadiri sidang. Namun Pemohon menyerahkan keterangan ahli dalam bentuk tertulis. “Untuk ahli dari Pemohon karena tidak dapat hadir, maka kami menyerahkan keterangan ahlinya saja secara tertulis bersama dengan CV-nya, Yang Mulia,” ujar Vivi di hadapan sembilan hakim konstitusi.
Sebelumnya, Pemohon menggugat ketentuan izin pemeriksaan terhadap pejabat negara oleh kepolisian yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU KY dan Pasal 17 ayat (1) UU MA. Sebagai komisioner KY yang notabene selaku pejabat negara, Pemohon merasa memiliki kewajiban untuk menjaga martabat hakim. Salah satu cara untuk menjaga martabat tersebut, Pemohon meminta agar pemeriksaan terhadap pejabat negara oleh pihak kepolisian harus melalui izin presiden terlebih dulu.
Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan bahwa ketua, wakil ketua, maupun anggota KY maupun MA yang melakukan tindak pidana kejahatan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden terlebih dulu.
Namun, kenyataannya, Pemohon merasa dipanggil kepolisian tanpa mendapat persetujuan dari presiden. Selaku komisioner KY saat itu, Pemohon merasa terciderai dan terganggu ritme kerjanya lantaran pemanggilan kepolisian.
“Persoalannya bahwa panggil memanggil ini kadang-kadang membuat repot hakim agung atau pun Komisi Yudisial. Jadi ada tugas yang ditinggalkan padahal tugas yang penting. Kadang-kadang satu perkara yang katakanlah perkara kecil pun, apabila sudah ada laporan polisi, maka itu harus ditindaklanjuti,” papar Andi Muhammad Asrun selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan yang digelar pada 27 Oktober tahun lalu.
Pemohon memang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Hakim PN Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi. Pemeriksaan dan penetapan tersangka kepada Pemohon saat itu tidak dilakukan dengan izin presiden terlebih dulu. (Yusti Nurul Agustin/lul)