Aturan Peninjauan Kembali (PK) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi. Anna Boentaran, istri dari terpidana korupsi yang telah divonis bebas, menjadi Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut. Sidang perdana perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul pada Kamis (24/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menganggap berlakunya Pasal 263 ayat (1) KUHAP merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.”
Muhammad Ainul Syamsu selaku kuasa hukum menjelaskan bahwa suami Pemohon pernah dituntut melakukan tindak pidana korupsi, dan telah sampai pada semua tahapan peradilan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000. Kemudian, suami Pemohon bebas dari tuntutan pidananya begitu juga pada tingkat kasasi. Namun pada tahun 2009, Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan tersebut, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara.
Pemohon keberatan atas pengajuan PK tersebut karena yang mengajukan adalah jaksa penuntut umum. Hal tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. “Hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali,” jelas Ainul.
Sehingga, menurut Pemohon, jika Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.
“Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat memperoleh hak-hak yang dijamin berdasarkan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Hilangnya hak ini disebabkan oleh penegakan hukum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum yang menyebabkan suami Pemohon meninggalkan Indonesia sampai hari ini. Sehingga Pemohon kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan diri sendiri dan keluarga,” urai Ainul.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan dengan “… permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak selain terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar pemohon memperbaiki petitum yang meminta tambahan makna pasal tersebut karena MK tidak bisa bertindak sebagai positive legislator.
“Arahnya seperti Anda mendorong Mahkamah Konstitusi untuk menjadi positive legislator, tapi lebih baik coba dirumuskan kembali lah, dipertegas apa yang sesuai dengan yang Saudara uraikan yang Saudara sudah sangat bagus di dalam posita itu, tapi ketika tiba untuk merumuskan petitum-nya jadi membingungkan,” sarannya.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kerja agar pemohon melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)