Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Henky Setiabudhi, seorang warga yang terjerat kasus penggelapan dan penipuan. Putusan tersebut diucapkan pada Selasa (22/03) di ruang sidang pleno MK.
Dalam sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Mahkamah menilai permohonan Pemohon untuk menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, dan Pasal 5 KUHAP lebih banyak menjelaskan persoalan hukum yang dihadapi oleh Pemohon. Dalam putusan Nomor 126/PUU-XIII/2015 tersebut, Mahkamah juga menyatakan Pemohon sama sekali tidak menjelaskan hak konstitusional apa yang telah dirugikan oleh berlakunya norma KUHAP yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon lebih banyak menjelaskan kerugian yang dialaminya karena telah diadili dan dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pidana tersebut lantaran laporan bahwa Pemohon telah melakukan tindak pidana penipuan karena memberikan pembayaran dengan bilyet giro yang tidak ada dananya. Padahal, menurut Pemohon, telah ada perdamaian antara Pemohon dan pihak pelapor namun proses peradilan tetap berjalan.
Pemohon melalui permohonannya menerangkan, pihaknya telah mengajukan praperadilan tetapi upaya ini ditolak pengadilan karena telah lewat waktu. Oleh karena itu, Pemohon merasa telah diperlakukan tidak adil sebab proses pengadilan (dan pemidanaan) terhadap dirinya didasarkan atas laporan polisi yang sudah dicabut oleh adanya perdamaian antara Pemohon dan pihak pelapor.
Setelah memeriksa secara saksama permohonan Pemohon serta keterangan Pemohon dalam persidangan, dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah ketentuan umum yang memberikan definisi hukum mengenai pengertian penyidikan. Sementara, Pasal 1 angka 4 KUHAP adalah ketentuan umum yang memberikan definisi hukum tentang penyelidik. Adapun Pasal 5, Mahkamah melihat norma tersebut aturan tentang kewenangan penyelidik.
“Jika mengikuti penalaran Pemohon, apabila norma undang-undang tersebut dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang terjadi bukan saja ketidakpastian hukum melainkan kekosongan hukum.” Kata Hakim Konstitusi Patrialis membacakan pertimbangan hukum.
Hal itu akan menyebabkan ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan penyidikan, apa yang dimaksud dengan penyelidik, dan apa saja kewenangan penyelidik. Dengan seluruh pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. (Ilham/lul)