Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materi ketentuan prapenuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (8/3) di Ruang Sidang MK. Agenda sidang perkara yang dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tersebut adalah mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR, serta saksi ahli.
Pada sidang perkara Nomor 123 dan 130/PUU-XIII/2013, Pemerintah diwakili oleh Koordinator Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Erryl Prima Putra Agoes menilai ketentuan yang diujikan sekali tidak menghilangkan hak atas para Pemohon, atas hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan tidak adanya kewajiban mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, mengakibatkan tidak dapat diawasi, sehingga akan menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik adalah dalil yang keliru. Terhadap dalil tersebut, menurut Pemerintah, meski KUHAP tidak secara tegas menyebutkan kewajiban penyidik untuk menyampaikan SPDP, tetapi dalam praktiknya semua proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik selalu diberitahu kepada jaksa melalui mekanisme SPDP. “Dengan demikian, secara praktik pengiriman SPDP oleh penyidik kepada jaksa sudah menjadi kewajiban bagi penyidik,” tegas Erryl di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Lebih lanjut, Pemerintah menyatakan KUHAP mengakomodasi asas yang melindungi hak asasi manusia (HAM), yakni dengan adanya pembagian fungsi di antara aparat penegak hukum dengan membagi menjadi penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Hal tersebut bertujuan sebagai kontrol satu dengan yang lain. “Di samping itu, kontrol tersebut untuk meningkatkan profesionalitas masing-masing 6 unsur itu supaya lebih efektif,” imbuhnya.
Erryl menambahkan, Pemerintah melihat permohonan tersebut lebih didasari adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dari para Pemohon berdasarkan pelaksanaan atau penegakan KUHAP. Hal itu karena yang dipersoalkan oleh para Pemohon ini bukanlah isu-isu konstitusi, tetapi lebih kepada isu-isu teknis pelaksanaan KUHAP yang mencakup keberadaan lembaga prapenuntutan yang diatur dalam Pasal 14 huruf b yang berbunyi, “Penuntut umum mempunyai wewenang mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
\"Proses prapenuntutan ini dilakukan oleh setiap penuntut umum secara bertanggung jawab dan dalam skema waktu yang cepat dan segera, tidak menunda-nunda pengembalian berkas perkara atau pelimpahan berkas ke pengadilan jika alat buktinya sudah memadai. Jikapun terdapat praktik-praktik yang tidak cepat dan segera, Pemerintah memastikan tidak disebabkan oleh frasa a quo,” urainya.
Dalam sidang tersebut, turut hadir perwakilan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku Pihak Terkait. Diwakili oleh Kombes Agung Makbul, Polri menyampaikan tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP telah menimbulkan praktik bolak-balik berkas perkara tanpa batas waktu, sehingga tidak ada kepastian. “Selama ini memang permasalahan bolak-balik berkas perkara merupakan permasalahan klasik dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Meskipun demikian, penyidik dan penuntut umum selalu berusaha mencari jalan keluar atas perbedaan tersebut. Salah satunya adalah dengan meminimalisir mekanisme pemeriksaan berkas perkara,” jelas Agung.
Agung menjelaskan, KUHAP tidak memberikan penormaan mengenai batasan berapa kali penutut umum bisa mengembalikan berkas penyidikan kepada penyidik. Sebaliknya, kondisi bolak-balik perkara justru mengurangi efesiensi penyidikan. “Namun demikian, penambahan norma mengenai pembatasan bolak-balik berkas perkara bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikannya. Hal ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang,” tandasnya. (Utami Argawati/lul)