Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri yang diwakili ketuanya, Imam Ghozali, menguji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Selasa (23/2) di Ruang Sidang MK. Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 12/PUU-XIV/2016 ini menganggap UU PPTKI merugikan hak konstitusional para TKI yang bekerja di luar negeri, terutama Pasal 85 ayat (2) UU PPTKI.
Ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU PPTKI menyatakan “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”.
Pemohon merasa ketentuan a quo mengatur upaya penyelesaian perselisihan TKI dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) akibat dari penyimpangan perjanjian penempatan sebatas di tingkat instansi bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Namun, menurut Pemohon, upaya penyelesaian pada tingkatan BNP2TKI, menimbulkan persoalan hukum bagi Pemohon yang berakibat pada kepastian hukum TKI untuk mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi oleh PPTKIS, apabila tidak mencapai mufakat.
“Bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, di antaranya melibatkan pemerintah, yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dirasakan belum memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Sebab dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, tidak diatur mengenai waktu penyelesaian produk hukum penyelesaian oleh BNP2TKI,” ujar Iskandar Zulkarnaen selaku kuasa hukum Pemohon.
Selain itu, menurut Pemohon, hingga kini Pemerintah tidak atau belum mengatur upaya hukum lain beserta waktu penyelesaiannya, apabila upaya musyawarah yang difasilitasi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, tidak mencapai mufakat. Pemohon dan juga TKI yang hak-haknya belum dipenuhi, tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Terhadap kelanjutan penyelesaian perselisihan TKI dengan PPTKIS yang belum memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian penempatan pun tidak jelas meskipun telah difasilitasi oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
“Oleh karena di dalam perjanjian pemempatan juga mengatur hak-hak TKI yang harus dipernuhi oleh PPTKIS, tidak dipenuhi hak-hak TKI dalam perjanjian penempatan oleh PPTKIS merupakan bagian dari perselisihan hak yang seharusnya dapat dilakukan upaya hukum, sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Untuk itulah, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 85 ayat (2) UU PPTKI bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat mengajukan gugatan perselisihan hak akibat tidak dipenuhinya hak-haknya yang tertuang dalam perjanjian penempatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dengan syarat telah dilaksanakan musyawarah namun tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak musyawarah, dan telah dilakukan upaya penyelesaian di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams memberikan saran perbaikan. Wahiduddin menyarankan agar pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. “Yang perlu dijelaskan juga adalah mengenai identifikasi Pemohon ini perlu ditegaskan hukumnya, apakah perseorangan warga negara atau selaku ketua serikat pekerja atau badan hukum privat,” sarannya.
Sementara Patrialis menyarankan agar pemohon memperbaiki petitum karena MK bukanlah positive legislator. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kerja bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)