Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) yang dimohonkan dua orang terpidana mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan gugur sebab keduanya sudah dieksekusi mati. Mahkamah juga menyatakan permohonan empat orang Pemohon perorangan lainnya, yaitu Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra, dan Haris Azhar tidak dapat diterima karena keempatnya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sementara itu, Mahkamah menyatakan permohonan IMPARSIAL selaku badan hukum ditolak karena dalil yang diajukan tidak beralasan menurut hukum.
Di Ruang Sidang Pleno MK, Wakil Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang menyampaikan amar putusan No. 56/PUU-XIII/2015 dengan didampingi oleh tujuh Hakim Konstitusi lainnya. “Amar putusan, mengadili, menyatakan, menolak permohonan Pemohon I (IMPARSIAL). Permohonan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V (Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra, dan Haris Azhar) tidak dapat diterima,” ujar Anwar, Kamis (10/12).
Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi. Menurut para Pemohon, kerugian tersebut terkait dengan terlanggarnya hak memajukan diri untuk memperjuangkan hak secara kolektif, pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi tidak secara eksplisit mewajibkan Presiden untuk mempertimbangkan secara layak terhadap permohonan grasi yang diajukan.
Pasal 11 ayat (1) UU Grasi menyatakan,
“Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Pasal 11 ayat (2) UU Grasi menyatakan,
“Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.”
Mahkamah berpendapat, gugurnya permohonan dua terpidana mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan disebabkan hilangnya subjek hukum dalam permohonan. Namun demikian, kelima Pemohon lainnya tetap dapat mengajukan permohonan a quo dengan berbagai perubahan atau perbaikan permohonan.
Usai memeriksa permohonan kelima Pemohon lainnya, Mahkamah menilai para Pemohon perorangan tidak mengalami kerugian konstitusional sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya. Sebab, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi yang digugat para Pemohon berkaitan erat dengan pihak yang tengah mengajukan grasi kepada Presiden. Diketahui kemudian, para Pemohon perseorangan bukanlah pihak yang tengah mengajukan grasi kepada Presiden. Mahkamah menyimpulkan, para Pemohon perseorangan tidak memiliki kerugian atau potensi kerugian akibat keberadaan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi apalagi jika kerugian konstitusional demikian dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) UU Grasi yang mengatur isi putusan Presiden berupa pemberian atau penolakan grasi.
Pertimbangan Grasi
Sementara itu, Mahkamah menilai IMPARSIAL selaku LSM yang bergiat memperjuangkan HAM memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. Sebab, IMPARSIAL memiliki kemungkinan untuk mewakili kepentingan banyak warga negara, termasuk para terpidana yang memiliki hak untuk mengajukan grasi.
Meski demikian, Mahkamah menilai dalil yang disodorkan IMPARSIAL tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah menilai gugatan IMPARSIAL sesungguhnya bukanlah disebabkan inkonstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi.
Menurut Mahkamah, Pasal 11 ayat (1) UU Grasi berisi perintah kepada Presiden untuk memberikan keputusan atas permohonan grasi. Norma perintah dimaksud memiliki dua kemungkinan pelaksanaan oleh Presiden, yaitu Presiden memberikan keputusan, atau Presiden tidak memberikan keputusan. Bahkan, lanjut Mahkamah, dalam Pasal 11 ayat (1) dapat ditemukan setidaknya dua lapis/bentuk pertimbangan, yaitu pertimbangan Presiden, yang pertimbangan ini dilakukan setelah memperhatikan pertimbangan sebelumnya, yaitu pertimbangan Mahkamah Agung.
Mengenai pertimbangan oleh Presiden, menurut Mahkamah, Pasal 11 ayat (1) UU Grasi telah sangat jelas memerintahkan bahwa pertimbangan yang diberikan oleh Presiden adalah pertimbangan yang layak. Justru ketika istilah “pertimbangan” yang dipergunakan kemudian ditambahkan dengan kata “layak”, sehingga berubah menjadi frasa “pertimbangan yang layak”, maka akan memunculkan ambiguitas. Padahal menurut Mahkamah, sebuah kata atau istilah “pertimbangan” sudah mengandung di dalamnya makna “layak”.
Terlebih, suatu pertimbangan diperoleh dengan proses berpikir yang harus dilakukan dengan layak. Jika terdapat suatu proses berpikir yang tidak layak atau tidak memenuhi kesungguhan tertentu, maka proses berpikir yang demikian tidak dapat disebut sebagai pertimbangan atau aktivitas mempertimbangkan.
Seandainya memang benar Presiden tidak mempertimbangkan permohonan grasi secara layak, menurut Mahkamah hal demikian adalah pelanggaran terhadap norma Pasal 11 ayat (1) UU Grasi. Dengan kata lain, bila ditemukan suatu saat Presiden tidak mempertimbangkan permohonan grasi secara layak maka hal tersebut bentuk pelanggaran terhadap Pasal 11 ayat (1) UU Grasi, bukan bentuk dari inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi. (Yusti Nurul Agustin/IR)