Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang diajukan oleh sejumlah petani dan organisasi lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua MK, Anwar Usman pada Kamis (10/12) siang dalam sidang pengucapan putusan, di Ruang Sidang Pleno MK.
“Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dalil permohonan para Pemohon mengenai Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-Undang Kehutanan beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Anwar selaku pimpinan sidang.
Para Pemohon menguji beberapa ketentuan dalam UU P3H dan UU Kehutanan. Namun, dalam Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 ini, Mahkamah hanya mengabulkan permohonan pengujian Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan. Sedangkan untuk pengujian ketentuan-ketentuan lainnya, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur dan tidak beralasan menurut hukum.
Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan menyatakan,
“Setiap orang dilarang:... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”;
Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan menyatakan,
“Setiap orang dilarang:... i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
Menurut Mahkamah, seharusnya larangan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan tidak termasuk kepada masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon serta bukan untuk tujuan komersial. Sehingga, lanjut Mahkamah, tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Sebab, akan terjadi paradoks apabila di satu pihak negara mengakui masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan membutuhkan hasil hutan, namun di lain pihak masyarakat tersebut diancam dengan hukuman. Menurut Mahkamah, justru negara harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat tersebut.
“Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengecualian terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, beralasan menurut hukum untuk sebagian sepanjang yang berkaitan dengan dan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, bukan yang berada di sekitar kawasan hutan sebab pemaknaan ‘di sekitar kawasan hutan’ sangatlah berbeda dengan masyarakat yang hidup di dalam hutan,” ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pendapat Mahkamah.
Terkait dengan pengujian Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut senafas dengan Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan. Untuk itu, pertimbangan hukum terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf e juga berlaku terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan. “Pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan dimaksud berlaku pula terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan, dengan ketentuan bahwa ternak tersebut adalah untuk kebutuhan sehari-hari dari masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan. Oleh karenanya permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan beralasan menurut hukum,” papar Manahan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.” Dengan kata lain,Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan berlaku inkonstitusional bersyarat.
Sebelumnya, para Pemohon menguji Pasal 1 angka 3, Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1), huruf b, huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b, huruf c dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 110 huruf b UU P3 dan Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, huruf k UU Kehutanan. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut menegasikan hak-hak masyarakat hukum adat karena melanggar prinsip kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon juga menguji ketentuan penataan, pengaturan, dan pengelolaan hutan oleh negara atau pemerintah dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4) UU P3H, dan Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 ayat (1) huruf d, Pasal 81 UU Kehutanan. Ketentuan tersebut dianggap melanggar prinsip kepastian hukum, bersifat diskriminatif, dan bertentangan dengan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/IR)