Hendku Setiabudhi selaku Pemohon perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memperbaiki permohonannya pada Rabu (18/11). Dalam sidang kedua yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyampaikan tidak melakukan perbaikan apa pun terhadap permohonan perkara No. 126/PUU-XIII/2015 yang diajukannya.
Palguna yang memimpin sidang kemudian mengklarifikasi hal tersebut dengan menanyakan kepada Pemohon apakah permohonan yang diserahkannya merupakan permohonan final. “Jadi artinya Saudara Pemohon ini dengan permohonan perbaikan yang sudah disampaikan kepada kami, inilah yang Bapak anggap sebagai permohonan terakhir untuk pemeriksaan pendahuluan ini tanpa perlu ada koreksi apa-apa lagi dari Pemohon. Begitu ya?” tanya Palguna yang kemudian dibenarkan oleh Pemohon.
Usai mendapat kepastian dari Pemohon, Palguna yang didampingi Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku anggota panel hakim menyampaikan kembali bahwa permohonan Pemohon merupakan perkara konkrit. Artinya, yang menyebabkan kerugian konstitusional yang diderita Pemohon bukanlah aturan ataupun norma dalam undang-undang, melainkan akibat kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan. Meski demikian, Palguna mengingatkan kembali bahwa sebenarnya kalau Pemohon tetap bersikukuh mengajukan permohonan ini, Pemohon bisa melakukan perbaikan permohonan hingga dapat meyakinkan Majelis Hakim bahwa memang telah terjadi pertentangan norma dalam KUHAP dengan Konstitusi. Sayangnya, Pemohon tidak melakukan perbaikan apa pun.
‘Ini intinya memang soal perkara konkrit yang sudah kami sampaikan juga pada persidangan sebelumnya. Walaupun masih ada beberapa hal teknis yang sebenarnya bisa dilakukan perbaikan, tetapi karena ini sudah yang terakhir jadi inilah yang akan kami terima sebagai permohonan dari Saudara Pemohon,” ujar Palguna, di Ruang Sidang MK.
Usai menerima permohonan final yang diajukan Pemohon, Palguna juga menyampaikan akan membawa hasil persidangan kali ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk diambil langkah selanjutnya. Pemohon nantinya akan diberitahukan keputusan RPH apakah perkara ini bisa dilanjutkan ke Sidang Pleno atau tidak.
Sebelumnya, Pemohon mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP yang mengatur definisi penyelidik dan penyidikan, serta kewenangan penyelidik. Pemohon sendiri merupakan terpidana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 98K/PID/2015 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pemohon dilaporkan ke Polrestabes Semarang karena memberikan Bilyet Giro untuk pembayaran barang yang tidak ada dananya. Meski laporan tersebut telah dicabut, namun proses hukum kepada Pemohon tetap berjalan hingga diputus oleh Mahkamah Agung. Pemohon menilai putusan Mahkamah Agung tersebut tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP. Sebab, dasar pemidanaan Pemohon adalah laporan yang sudah dicabut oleh pelapor.
Pemohon mendalilkan, dalam kasus yang dihadapinya, penyidikan polisi dan jaksa penuntut umum memakai laporan polisi yang sudah dicabut atau dibatalkan. Hal tersebut menurut Pemohon seharusnya tidak berlaku lagi karena Pemohon dan pihak yang terkait sudah membuat kesepakatan. Namun, penyidik tetap menggunakan laporan polisi tersebut untuk mempidanakan Pemohon.
Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon meminta Mahkamah agar putusan Pengadilan Negeri hingga tingkat kasasi diputus berdasarkan laporan polisi yang sudah dicabut/dibatalkan. Pemohon juga meminta agar Putusan Mahkamah Agung terhadap diri Pemohon dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, dan Pasal 5 KUHAP, serta UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah merevisi Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP. (Yusti Nurul Agustin/IR)