Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu) yang diajukan oleh dua orang pegiat Pemilu, Heriyanto dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Putusan dengan Nomor 101/PUU-XIII/2015 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Senin (16/11), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Arief membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pendapatnya, Mahkamah menilai terdapat ketidaksesuaian antara pasal yang diuji dengan alasan kerugian konstitusional Pemohon. Pasal yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4) dan pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu yang mengatur mengenai kewajiban KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam membuat peraturan harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Menurut Mahkamah, kerugian konstitusional para Pemohon sama sekali tidak berkaitan dengan pengaturan mengenai kewajiban untuk konsultasi kepada DPR dan Pemerintah dalam membuat peraturan KPU, Bawaslu, dan DKPP, melainkan berkaitan dengan tidak terfasilitasinya pemenuhan hak pilih pemilih dan tidak terpenuhinya kebutuhan pemilih dalam pemilihan.
Selain itu, lanjut Mahkamah, pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon berkaitan dengan kewenangan KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam membuat peraturan, sehingga seharusnya tiga lembaga (KPU, Bawaslu, dan DKPP) tersebut yang sangat berkepentingan untuk mengajukan pengujian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan ini. “Oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu telah merugikan kewenangan konstitusional dan kemandirian KPU, Bawaslu, dan DKPP. Pemohon berpendapat, proses konsultasi dengan DPR dan Pemerintah secara langsung telah mempengaruhi kemandirian di tiga lembaga tersebut. Hal ini dibuktikan dengan usaha DPR melakukan intervensi kepada KPU dalam proses konsultasi terhadap Peraturan KPU terkait pencalonan kepala daerah. Hal tersebut dilakukan demi mengakomodasi kepentingan partai politik yang tidak mendapat legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM. Para Pemohon sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih dan memilih, merasa berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya lantaran Peraturan KPU yang selalu berubah demi mengakomodasi kepentingan partai politik di DPR. (Lulu Anjarsari/IR)