Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan seorang terpidana, Henky Setiabudhi pada Kamis (5/11). Pemohon merasa dirugikan dengan definisi penyidikan dan ketentuan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut, kuasa hukum Pemohon, Wahyu Harsowiyoto menjelaskan, Pemohon menjadi terpidana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 98K/PID/2015 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Wahyu menceritakan, sebelumnya Pemohon dilaporkan ke Polrestabes Semarang oleh Ariyanto Hadinoto karena memberikan Bilyet Giro untuk pembayaran barang yang tidak ada dananya. Meski laporan tersebut telah dicabut, namun proses hukum kepada Pemohon tetap berjalan hingga diputus oleh Mahkamah Agung. Pemohon menilai putusan Mahkamah Agung tersebut tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP. Sebab, dasar pemidanaan Pemohon adalah laporan yang sudah dicabut oleh pelapor.
“Karena di dalam kasus yang dialami Pemohon, bahwa penyidikan polisi, jaksa penuntut umum memakai laporan polisi yang sudah dicabut atau dibatalkan, tidak berlaku karena sudah ada kesepakatan, tetapi oleh penyidik masih tetap digunakan untuk mempidanakan Pemohon,” ujar Wahyu dalam sidang perkara Nomor 126/PUU-XIII/2015, di Ruang Sidang MK.
Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon meminta Mahkamah agar putusan Pengadilan Negeri hingga tingkat kasasi diputus berdasarkan laporan polisi yang sudah dicabut/dibatalkan. Pemohon juga meminta agar Putusan Mahkamah Agung terhadap diri Pemohon dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, dan Pasal 5 KUHAP, serta UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah merevisi Pasal 1 angka 2 dan angka 4, serta Pasal 5 KUHAP.
Terhadap permohonan tersebut, Palguna memberikan penjelasan bahwa MK hanya menguji norma. “Kami tidak memiliki kewenangan menilai keabsahan tindakan aparat penegak hukum,” kata Palguna. “Berwenang saja tidak, bagaimana kami mau memasuki pokok perkara itu,” lanjutnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Aswanto. Menurutnya, Pemohon sendiri telah mengatakan dalam permohonannya bahwa apa yang dimohonkan bukanlah kewenangan MK. “Kalau ada normanya yang bertentangan dengan norma atau beberapa norma dalam Undang-Undang Dasar itu jadi kewenangan Mahkamah,” kata Aswanto.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti petitum permohonan Pemohon yang menurutnya tidak sesuai. “Malah yang masih ada sedikit nyerempet-nyerempet itu yang nomor 4 tadi, merevisi tadi,” terang Suhartoyo.
Majelis pun memberikan pilihan kepada Pemohon untuk melanjutkan perkaranya atau tidak. “Coba nanti dipikirkan kembali, apakah Anda-Anda itu masih ingin membawa ini ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan perbaikan dan diajukan kembali pada persidangan yang akan datang, atau kah Bapak berpikir ulang untuk tidak meneruskan permohonan ini,” pungkas Suhartoyo. (Ilham/IR).