Setelah gagal menghadirkan ahli pada persidangan sebelumnya, OC Kaligis selaku Pemohon langsung menghadirkan dua orang ahli yang merupakan guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, yaitu I Gde Pantja Astawa dan Romli Atmasasmita. Pada sidang yang digelar Selasa (3/11), keduanya menyampaikan penyelidik dan penyidik yang dimaksud Pasal 45 ayat (1) UU KPK adalah penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian.
Mengawali persidangan kali ini, I Gde Pantja Astawa menyampaikan keahliannya terkait Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang digugat oleh OC Kaligis selaku Pemohon perkara No. 109/PUU-XIII/2015 dan No. 110/PUU-XIII/2015. Seperti diketahui, Pasal 45 ayat (1) UU KPK menyatakan penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi KPK.
Seperti yang disampaikan Astawa, pasal tersebut dimaknai oleh KPK dengan pengertian bahwa KPK secara atributif diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik independen yakni penyidik dari luar Kepolisian. Pemaknaan yang sama terhadap Pasal 45 ayat (1) UU KPK tersebut juga keluar dari Putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan atas permohonan Suroso Atmomartoyo. Saat itu, PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa penyidik independen adalah sah menurut hukum, sehingga seluruh proses hukum yang dilakukannya juga adalah sah menurut hukum.
Berbeda dengan KPK dan PN Jakarta Selatan, Astawa memiliki pemahaman sendiri terkait Pasal 45 ayat (1) UU KPK. Bila dilihat dari penafsiran sistematik dan penafsiran sejarah, Astawa menyatakan penyidik dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK adalah penyidik dari Kepolisian. Menurutnya, pengangkatan dan pemberhentian penyidik oleh KPK, semata hanya persoalan administratif yang pada ujungnya menyangkut hak keuangan penyidik.
Penafsiran Sistematis
Astawa menjelaskan, bila dilihat dari penafsiran sistematis maka Pasal 45 ayat (1) UU KPK tidak berdiri sendiri. Pasal tersebut sejatinya berkolerasi dengan pasal lain dalam UU KPK maupun dalam KUHAP. “Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang KPK tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi berkorelasi dengan ketentuan Pasal 38, Pasal 39 ayat (3), dan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang KPK. Sedangkan dalam kaitannya dengan undang-undang yang lain sebagai sebuah sistem, berkorelasi dengan ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 4, angka 5, dan angka 6, serta ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” ujar Astawa di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Merujuk pada pasal-pasal yang berkorelasi dengan Pasal 45 ayat (1) UU KPK tersebut, Astawa menyimpulkan bahwa yang dimaksud penyidik dan penyelidik adalah penyidik dan penyelidik dari Kepolisian. Salah satu pasal yang dianggap berkorelasi dengan Pasal 45 ayat (1) UU KPK yakni Pasal 1 angka 1 KUHAP yang menyatakan penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Pasal 4 KUHAP juga menyatakan penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Indonesia.
“Berdasarkan penafsiran sistematis terhadap beberapa ketentuan dalam undang-undang yang sama, yaitu Undang-Undang KPK, dan kaitannya dengan beberapa ketentuan pasal dalam KUHAP, tampak satu hal yang jelas dan pasti bahwa penyelidik dan penyidik yang dimaksud dan yang bekerja sebagai pegawai di KPK selaku penyelidik dan penyidik adalah hanya pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan tidak atau bukan pejabat pegawai negeri sipil,” urai Astawa, di Ruang Sidang Pleno MK.
Penafsiran Sejarah
Berdasarkan sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan, Astawa juga menyimpulkan bahwa yang dimaksud penyidik dan penyelidik dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK yakni berasal dari Kepolisian. Dilihat dari naskah akademik UU KPK, saat itu telah terjadi perdebatan juga tentang kewenangan KPK untuk dapat mengangkat penyidik dan penyelidik independen.
Saat itu, lanjut Astawa, muncul ide untuk memberikan kewenangan atributif kepada KPK untuk mengangkan dan memberhentikan penyelidik dan penyidikl independen. Namun ide tersebut ditentang dengan alasan tidak ada institusi atau pihak manapun di Indonesia yang memiliki pengalaman sebagai penyelidik dan penyidik, selain Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas dasar argumentasi itulah, ide agar KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat penyidik dan penyelidik independen tidak dapat terwujud.
Oleh karena itu, Astawa menyimpulkan, pemberhentian sementara penyidik dan penyelidik dari Kepolisian dimaksdukan agar penyidik dan penyelidik dimaksud memiliki loyalitas tunggal kepada KPK. Selain itu pemberhentian sementara juga dimaksudkan agar memudahkan persoalan status kepegawaian yang sepenuhnya bersifat administratif. “Karena polisi sebagai penyelidik dan penyidik, serta jaksa sebagai penuntut umum pada waktu ditempatkan untuk menjadi pegawai pada KPK mereka diberhentikan sementara dari instansi asalnya, maka dokumen kepegawaian dan hak keuangannya pun diberhentikan atau dihentikan di instansi asalnya untuk kemudian dialihkan kepada KPK,” ungkap Astawa.
Hal tersebut pun dibenarkan oleh Romli Atmasasmita yang pada saat UU KPK disusun, turut menjadi salah satu penggagas. Menurut Romli, saat itu tim penyusun UU KPK melakukan studi banding ke Hongkong, Malaysia, Singapura, Australia, dan Filipina. Di sana, tim penyusun menemui bahwa setelah penyidikan kasus-kasus besar di sana tidak bisa dituntaskan karena penuntutan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Oleh karena itulah kemudian Romli dan timnya mengambil inisiatif untuk membuat KPK memiliki penyidik dan penyelidik independen.
Namun kemudian, usulan Romli tersebut ditolak dengan alasan penyelidik dan penyidik KPK tidak punya pengalaman menyelidik dan menyidik. Saat itu, Kepolisian beralasan selama ini mereka yang sudah memiliki pengalaman, ternyata masih sulit untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi, apalagi penyidik dan peyelidik KPK.
Selain itu, muncul pula permasalahan mengenai loyalitas penyidik dan penyelidik “pinjaman” dari Kepolisian. Oleh karena itu, muncullah aturan untuk memberhentikan sementara para penyidik dan penyelidik “pinjaman” tersebut demi loyalitasnya kepada KPK selaku lembaga independen. “Agar tidak memengaruhi independensi dari lembaga itu, maka kita buat penyelidik, penyidik, penuntut diberhentikan sementara dari institusi asalnya. Dengan harapan, loyalitas berubah kepada lima Pimpinan KPK, bukan kepada Jaksa Agung dan Kapolri. Oleh karena itulah, ada muncul Pasal 39 ayat (3). Jadi, kalau ada pasal, kemudian di belakang bahwa ‘Pimpinan KPK mengangkat penyelidik, penyidik, penuntut, tidak bisa diartikan independen’, maka harus dibaca bunyinya, ‘Pimpinan KPK dapat mengangkat penyelidik, penyidik, penuntut sendiri’,” papar Romli.
Sebelumnya OC Kaligis yang terjerat kasus dugaan tindak pidana korupsi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Merasa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan terhadap dirinya tidak sah, Kaligis mengajukan uji materi terhadap Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang menyatakan penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Menurut Pemohon, pasal ini dianggap tidak jelas karena tidak diatur siapa yang dimaksud dengan penyidik KPK dan darimana asal usul penyidik KPK. (Yusti Nurul Agustin/IR)