Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang dua perkara Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dimohonkan oleh OC Kaligis, Senin (26/10). Sidang dengan agenda mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ahli Pemohon tersebut ditunda sebab DPR maupun ahli tidak hadir dalam persidangan.
Seharusnya, Mahkamah menggelar sidang lanjutan keempat terhadap perkara No. 109/PUU-XIII/2015 dan No. 110/PUU-XIII/2015 yang keduanya dimohonkan oleh OC Kaligis. Menurut pimpinan sidang, DPR tidak dapat menghadiri sidang karena jadwal persidangan berbenturan dengan agenda rapat di DPR. “Dari DPR tidak hadir, ada surat yang ditandatangani oleh Pimpinan di Kesekretariatan Jenderal DPR Nomor PW15776/DPR-RI/2015 yang menyatakan tidak dapat hadir karena bertepatan dengan rapat-rapat di DPR,” papar Ketua MK Arief Hidayat.
Ahli Pemohon pun berhalangan hadir karena terkendala waktu. “Sebenarnya, dari Pemohon itu mengajukan perubahan jadwal sidang, permohonan jadwal sidang diubah karena waktunya minta digeser ke siang hari. Tapi setelah kita konfirmasi kepada Pemerintah, Pemerintah juga menyatakan tidak bisa kalau digeser siang hari. Maka, berhubung pada jam ini semestinya kita mendengarkan keterangan DPR dan ahli dari Pemohon tidak bisa hadir semua, maka persidangan pada hari ini ditunda, dijadwalkan kembali karena dua agenda yang mestinya kita lakukan tidak bisa terlaksana pada persidangan pagi hari ini,” ujar Arief hidayat dihadapan Pemohon, Pemerintah, dan KPK Selaku Pihak Terkait yang menghadir sidang kali ini.
Sebelum menutup sidang yang berlangsung sangat singkat tersebut, Arief menyampaikan sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 3 November 2015, pukul 11.00 WIB. Adapun agenda sidang selanjutnya adalah mendengarkan keterangan DPR, ahli dari Pemohon, ahli dari KPK (Pihak Terkait), dan ahli dari Pemerintah.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK. Pasal 46 ayat (2) UU KPK menyatakan, “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka”. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut berpotensi membatasi hak-hak tersangka karena dapat ditafsirkan secara luas, terlebih apabila penafsiran dilakukan dengan kepentingan politik. Untuk itu, Pemohon berdalil bahwa Pasal 46 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk hak-hak tersangka sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal 59 KUHAP, khususnya terkait dengan hak untuk mengajukan penangguhan penahanan karena tidak menjamin kepastian hukum.
Pemohon juga mempermasalahkan Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang menyatakan, Penyidik adalah penyidik pada komisi pemberantasan korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi. Menurut Pemohon, penyidik di KPK seharusnya adalah penyidik yang berasal instansi Kepolisian, bukan “penyidik independen” yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sendiri. (Yusti Nurul Agustin/IR)