Lima belas orang yang tergabung dalam Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) menggugat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ke Mahkamah Konstitusi (MK). PPUI menganggap ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menyebabkan timbulnya praktik monopoli, oligopoli, dan kartel oleh para pengusaha besar. Para Pemohon yang menjalankan usaha budidaya peternakan unggas dengan skala kecil merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh ketentuan tersebut. Hal ini terungkap saat sidang perdana perkara No. 117/PUU-XIII/2015, yang digelar di Ruang Sidang Panel MK.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat, dengan adanya frasa “atau bidang lainnya yang terkait” dalam Pasal 2 ayat (1) UU a quo, para peternak bermodal besar seakan-akan diberikan keleluasaan untuk mendirikan usaha dalam bidang-bidang lain yang terintegrasi dengan usaha peternakan.
Pasal 2 ayat (1) UU a quo mengatur bahwa “Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah NKRI dan dapat dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait”. Frasa terakhir dalam pasal tersebutlah yang dianggap pada ujungnya dapat menimbulkan terjadinya praktek monopoli, oligopoli, dan kartel. Oleh karena itu, Pemohon yang beranggotakan para peternak kecil merasa tidak dapat bersaing, sehingga para peternak kecil tidak lagi memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Selain itu, Pasal 2 ayat (1) UU a quo juga didalilkan oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon berargumentasi, frasa “atau bidang lainnya yang terkait” telah menimbulkan ketidakpastian dalam bidang usaha peternakan. Pemohon menganggap frasa tersebut dapat ditafsirkan beragam oleh para pelaku usaha budi daya peternakan. Secara gramatikal misalnya, frasa tersebut dapat ditafsirkan bidang lainnya yang terkait dapat berupa banyak bidang di luar peternakan, seperti bidang pengadaan pakan ternak, peralatan ternak, hingga pembibitan.
“Peternak bermodal besar dapat mendirikan berbagai usaha di bidang lainnya yang berintegrasi dengan budi daya peternakan dari hulu hingga hilir. Ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ujar Syuratman Usman selaku kuasa hukum Pemohon saat sidang perkara ini digelar pertama kalinya, Selasa (6/10).
Disusupi Asing
Selain itu, Pemohon juga mempermasalahkan keberadaan Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Menurut Pemohon, pasal tersebut telah membuka peluang bagi para pemilik modal asing untuk melakukan kerja sama dengan WNI dalam usaha melakukan budidaya peternakan di Indonesia.
Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan menyatakan:
Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.”
Pemohon melanjutkan, pada ujungnya Pasal 30 ayat (2) UU a quo akan menimbulkan praktik monopoli dan kartel para pemodal besar di bidang peternakan. “Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menciptakan sistem ekonomi liberal dan kapitalis karena masuknya pihak asing dalam bidang peternakan yang notabene tidak sejalan dengan sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tutur Syuratman di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Saran Hakim
Usai mendengarkan paparan pokok permohonan Pemohon, Manahan menyampaikan saran yang dapat digunakan untuk memperbaiki permohonan. Menurut Manahan, masih terdapat inkonsistensi antara dalil Pemohon yang menyatakan adanya ketidakpastian hukum dengan argumentasi yang dibangun dalam permohonan. Oleh karena itu, Manahan meminta Pemohon agar menguraikan kembali apa yang diminta oleh Pemohon beserta argumentasinya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang menjadi anggota panel hakim pada persidangan kali ini menyarankan agar Pemohon dapat membedakan antara kerugian konstitusional dengan kerugian ekonomi. “Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah memberikan penjelasan itu di Pasal 51. Hak konstitusional adalah hak yang diberikan oleh atau yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jadi harus jelas logika kerugian konstitusional yang dialami Pemohon,” saran Palguna.
Sebelum menutup sidang, Manahan mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat tanggal 19 Oktober 2015. (Yusti Nurul Agustin/IR)