Pengusaha rumah duka dan pengurusan jenazah Sumarmiasih ajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer). Sidang perdana perkara dengan Nomor 118/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Selasa (6/10), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 353 UU Peradilan Militer.
Pasal 353 UU Peradilan Militer menyatakan:
“Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Pemohon adalah Direktur PT Sukhawati Loka Funeral, sebuah badan hukum yang bergerak di sektor bisnis urusan rumah duka dan pengurusan jenazah di rumah duka pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Kemudian, Pemohon menyewa sebidang tanah hak pakai dari Primer Koperasi RSPAD dengan status perjanjian sebagai mitra kerja sama pemanfaatan tanah yang diperuntukan sebagai Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto.
Seiring waktu, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (KASAD) mengeluarkan Surat Telegram dengan Nomor: ST/1944/2015 tanggal 15 Juli 2015 perihal perintah segera melaksanakan pemutusan kerjasama pemanfaatan aset tanah TNI AD C.q KODAM JAYA, Jl. Abdul Rahman Saleh No.24 Jakarta Pusat yang digunakan untuk Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto. Selanjutnya dikeluarkan lagi Surat Nomor B/2131/VII/2015 perihal Peringatan Kedua Pengosongan Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto yang dikeluarkan oleh Panglima Komando Daerah Militer Jaya/Jayakarta.
Dengan dikeluarkannya surat tersebut, Pemohon mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Militer II Jakarta perihal Gugatan Tata Usaha Angkatan Bersenjata/Tentara Nasional Indonesia pada 4 Agustus 2015. Selanjutnya, Kepala Pengadilan Militer Tinggi II melalui surat Nomor : W2-Mil/293/B/VIII/2015 perihal Jawaban Permohonan Gugatan Tata Usaha Angkatan Bersenjata/TNI tertanggal 7 Agustus 2015 menyatakan, Pengadilan Militer Tinggi II khususnya mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, perihal pelaksanaannya belum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Pemohon hal tersebut terjadi karena Pasal 353 UU Peradilan Militer tidak dijalankan, sehingga Pengadilan Militer II Jakarta beralasan tidak dapat memeriksa perkara Tata Usaha Militer yang diajukan oleh Pemohon. Akibatnya, Pemohon tidak mendapatkan kepastian dalam proses hukum. “Jadi karena ketiadaan ruang di Pengadilan Tata Usaha Negara Militer yang tidak bisa mengadili hanya karena ketiadaan perangkat dalam hukum acara,” ujar Muhammad Daud selaku kuasa hukum Pemohon di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Untuk itu, lanjut Daud, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan. “Menyatakan Pasal 353 UU Peradilan Militer bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan ‘sepanjang dimaknai Hukum Acara Tata Usaha Militer dipersamakan tata caranya sebagaimana Hukum Acara Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU PTUN…’,” jelasnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Aswanto memberi saran perbaikan. Suhartoyo meminta agar Pemohon memperbaiki dalil permohonan karena belum jelas terlihat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Menurutnya, kerugian Pemohon terjadi akibat wanprestasi oleh koperasi, bukan masalah konstitusionalitas norma. “Kerugian-kerugian Anda itu apakah murni masalah konstitusional berlakunya ketentuan ini, karena Anda tidak tersalurkan, itu juga harus dikaji secara mendalam karena apa?” tanyanya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Aswanto. Menurutnya, permasalahan utama Pemohon adalah mengenai belum terbentuknya peraturan pemerintah yang mengatur tentang hukum acara tata usaha militer di Pengadilan Militer. “Kalau PP belum dibentuk mestinya yang bertanggung jawab yang punya kewenangan untuk membentuk PP. Bukan undang-undangnya yang bermasalah. Atau bukan undang-undangnya yang kemudian dianggap menyalahi norma yang ada di dalam Konstitusi,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/IR)