Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (29/9). Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memimpin Panel Hakim yang memeriksa perkara nomor 111/PUU-XIII/2015 tersebut. Sedangkan Pemohon adalah Adri dan Eko Sumantri selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) yang menguji Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.
Pemohon mendalilkan, ketentuan yang diuji telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, substansi Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan mengatur mengenai pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Pemohon menganggap, ketentuan tersebut merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu menurut Pemohon, frasa ”prinsip usaha sehat” dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ”secara berbeda” dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon menganggap bahwa ada variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha dan adanya potensi terjadinya kartelisasi.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan permohonan Pemohon masih kabur. “Masalah kedudukan hukum Anda, apakah ingin mengajukan sebagai perorangan warga negara Indonesia atau Serikat Pekerja. Hal itulah yang menyebabkan kekaburan dalam permohonan Anda,” kata Palguna.
Selain itu, Palguna menilai sistematika permohonan Pemohon harus diperbaiki. Palguna menyarankan Pemohon mempelajari contoh-contoh permohonan yang sudah ada dalam web MK.
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menganggap permohonan Pemohon lebih ke persoalan implementasi, bukan pertentangan norma. “Jadi Anda harus lebih merumuskan dalam alasan-alasan permohonan bahwa pasal yang diuji dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Anda,” ujar Maria Farida menasihati.
“Saya mencermati permohonan Anda mempertentangkan antara peraturan-peraturan lama dengan yang baru. Tapi apa maknanya hal ini, tanpa Anda menjelaskan bahwa norma yang Anda ajukan itu bertentangan dengan UUD. Rumusan dalam permohonan ini memang panjang lebar, tapi tidak menjelaskan pertentangannya di mana,” tandas Maria Farida. (Nano Tresna Arfana/IR)