Mahkamah Konstitusi (MK) memutus untuk mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang diajukan oleh beberapa orang advokat yang tergabung dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI). Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”.
“Mengadili, Menyatakan, Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian”, ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan perkara perkara nomor 112/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh Ismet dan perkara nomor 36/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Abraham Amos,dkk, pada Selasa (29/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah menilai, meskipun Pasal 4 ayat (1) UU Advokat seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi karena sebelumnya pernah diajukan, namun Mahkamah mempunyai landasan untuk memutus pasal itu kembali. Dasarnya antara lain, petitum permohonan Pemohon meminta putusan yang seadil-adilnya, fakta-fakta persidangan dan landasan bahwa tenggat waktu 2 (dua) tahun sebagaimana amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 telah terlewati dan tetap terdapat kebuntuan konstitusionalitas sehingga merugikan para Pemohon. Untuk itu, Mahkamah menimbang perlu menguatkan putusan sebelumnya dengan tetap menjadikan putusan tersebut sebagai pedoman. Selain itu, Mahkamah juga memandang tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul.
“Karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi,” papar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah juga berpendapat, meskipun pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya menyatakan bahwa wadah tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang beserta pemangku kepentingan. Pembentuk Undang-Undang dan pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) dapat menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ.
“Oleh karenanya, masih terdapat upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative review yang juga menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya,” tambah Suhartoyo.
Kemudian terhadap pengujian Pasal 4 ayat (3) UU Advokat yang meminta Mahkamah menyatakan sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” bertantangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah menilai permintaan tersebut tidak berasalasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, tindakan yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Tinggi sebagai tindak lanjut dari proses pengambilan sumpah Advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya adalah menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Ketentuan tersebut menjadi landasan hukum bagi dilaksanakannya tugas Panitera Pengadilan Tinggi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Advokat.
“Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tentang Pasal 4 ayat (3) UU Advokat sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Suhartoyo.
Sebelumnya, Ismet sebagai pemohon perkara nomor 112/PUU-XII/2014 mendalilkan bahwa Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 tidak dipatuhi oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi. Menurutnya, putusan tersebut tidak memberikan solusi terhadap tindakan Pengadilan Tinggi, yang atas perintah Mahkamah Agung, menafsirkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagai kewenangan untuk menolak sidang terbuka sumpah advokat yang diminta organisasi advokat apa pun, kecuali PERADI. Sementara itu, dalam perkara nomor 36/PUU-XIII/2015, para Pemohon Abraham Amos, dkk dalam permohonannya menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat bersifat diskrimintaif dan secara faktual telah melanggar hak konstitusional para Pemohon, khususnya anggota Advokat yang bernaung di bawah organisasi non-PERADI;
“Kalau persoalan masalah sumpah, kami sampaikan dengan bahasa awamnya kami, kami sudah mohonkan, organisasi ini sudah mohonkan sumpah, tetapi pengadilan tinggi yang tidak mau. Dimana salahnya kami, organisasi kami sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak dikasih, ujung-ujungnya ini dijadikan senjata untuk menjegal kami beracara, di mana keadilan,” papar Johni Bakar, salah satu Pemohon dalam perkara nomor 36/PUU-XIII/2015 pada sidang perdana Senin (6/4). (Triya IR)