Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan), khususnya Pasal 54 ayat (1). Dengan adanya putusan tersebut, konsumen PT PLN Persero yang tidak memiliki sertifikat laik operasi (SLO) tidak terancam sanksi kurungan penjara, melainkan hanya sanksi denda.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi tujuh hakim konstitusi lain, kecuali Hakim Konstitusi Aswanto, di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (22/9).
Putusan dengan nomor 58/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Ibnu Kholdun tersebut menyatakan frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Adapun Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan,
Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.
Sedangkan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan menyatakan,
(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat layak operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Menurut Mahkamah, norma tersebut bersifat kumulatif karena setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa SLO dikenakan sanksi pidana penjara dan sanksi denda. Padahal, imbuh Mahkamah, keharusan adanya SLO dalam pengoperasian instalasi listrik merupakan persyaratan administrasi yang diwajibkan oleh negara bagi setiap orang yang mengoperasikan instalasi listrik, baik berupa instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi, pemanfaatan tegangan tinggi, pemanfaatan tegangan menengah, dan pemanfaatan tegangan rendah. Oleh karena itu, apabila persyaratan administrasi SLO tidak dipenuhi, sanksi yang dikenakan dapat berupa sanksi denda sebagai sanksi administrasi, yang termasuk dalam ranah hukum pidana administratif.
“Menurut Mahkamah, tidak tepat apabila ketiadaan SLO dalam instalasi listrik dikenakan sanksi pidana penjara. Pelanggaran administrasi karena tidak adanya SLO dalam instalasi listrik bukanlah tindakan kejahatan pembunuhan, pelanggaran HAM, atau pencurian yang menghilangkan hak orang lain. Oleh karena itu, sanksi pidana penjara yang dijatuhkan kepada masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” jelas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan Pertimbangan Hukum.
Lebih lanjut, terkait sanksi untuk rumah tangga yang tidak memiliki SLO, Mahkamah menjelaskan, SLO merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam pengoperasian instalasi listrik. Apabila PLN tetap memberikan aliran listrik terhadap instalasi listrik rumah tangga yang tidak memiliki SLO, hal itu merupakan kesalahan PLN karena masyarakat pengguna listrik rumah tangga tidak dapat mengoperasikan instalasi listrik jika tidak ada aliran listrik. “Dengan demikian, apabila PLN tetap mengalirkan listrik untuk instalasi listrik rumah tangga dan terjadi kebakaran akibat ketiadaan SLO maka PLN-lah yang bertanggung jawab atas dampak kerugian yang timbul. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila sanksi denda dan sanksi pidana penjara dibebankan kepada masyarakat,” tegasnya.
Ketentuan Peralihan
Mahkamah menilai perlu adannya ketentuan peralihan/transisi (transitional clause) menyangkut SLO. Ketentuan peralihan tersebut diperlukan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan UU Ketenagalistrikan. Dengan demikian, ketentuan peralihan/transisi (transitional clause) ini tidak dapat berlaku surut.
Kewajiban pemilikan SLO dalam Pasal 44 ayat (4) UU Listrik dan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik berlaku sejak diundangkannya UU Ketenagalistrikan pada tahun 2009. Meskipun demikian, banyak instalasi listrik yang telah terbangun sebelum berlakunya UU tersebut.
“Menurut Mahkamah, untuk menjamin kepastian hukum yang adil maka kewajiban kepemilikan SLO dalam instalasi listrik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat (4) UU Listrik dan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik berlaku sejak putusan Mahkamah ini diucapkan sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini,” tuturnya.
Dengan demikian, kewajiban pemilikan sertifikat laik operasi untuk setiap instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dan sanksi pidana denda dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah diucapkan. Namun denda tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga masyarakat
Selain itu, Mahkamah menyatakan ketentuan mengenai kewajiban kepemilikan SLO dalam instalasi listrik perlu dibedakan antara pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi, dan pemanfaatan tenaga listrik tegangan menengah, termasuk pula rumah tangga masyarakat. Pembedaan diperlukan karena masing-masing instalasi listrik memiliki fungsi, manfaat, pengoperasian, dan risiko yang berbeda. Pembedaan tersebut diatur oleh pembentuk Undang-Undang sebagai positive legislator sepanjang pengaturan pembedaan instalasi listrik tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Hanifah)