JAKARTA, KOMPAS.com – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian materi yang diajukan pengacara Otto Cornelis Kaligis, yang juga tersangka kasus suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Rabu (16/9/2015). Tidak hanya satu, Kaligis langsung mengajukan tiga uji materi, dengan nomor perkara 108/PUU-XIII/2015, 109/PUU-XIII/2015 dan 110/PUU-XIII/2015.
Majelis Hakim Konstitusi kemudian berulang kali menyampaikan agar Pemohon mempertegas permohonannya, apakah ingin melakukan pengujian undang-undang atau lebih menekankan pada implementasi undang-undang. Selain itu, majelis hakim juga menyarankan agar Pemohon lebih memfokuskan permohonan, dari tiga gugatan yang diajukan.
“Coba difokuskan. Yang minta satu saja belum tentu dikabulkan, mau minta banyak-banyak,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo, dalam sidang tersebut.
OC Kaligis yang diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Rullyandi menguji Pasal 1 angka 2 dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam nomor perkara 108/PUU-XIII/2015. Gugatan dilayangkan karena Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Pemohon menilai, frasa “serangkaian tindakan penyidik” multitafsir. Selama ini, frasa tersebut dianggap merupakan prosedur formal dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dan bukan merupakan tafsir yang subjektif dari aparat penegak hukum.
“Hak konstitusional yang dirugikan adalah hak mendapatkan kepastian hukum. Prosedur formal apa yang harus dilalui untuk menentukan seseorang sebagai tersangka,” ujar Rullyandi.
Sementara, dalam permohonan kedua dengan nomor perkara 109/PUU-XIII/2015, Pemohon menilai bahwa Pasal 45 ayat (1) UU KPK juga mengandung muatan multitafsir. Ketentuan yang berbunyi: “Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”, digugat karena tidak jelas mengatur tentang siapa yang dimaksud dengan jabatan penyidik KPK. Pasal itu juga dinilai tidak menjelaskan asal usul atau kriteria formal penyidik KPK.
Untuk permohonan dengan nomor perkara 110/PUU-XIII/2015, Pemohon merasa dirugikan dengan Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang berisi tentang pemberian jaminan perlindungan hak-hak tersangka. Pemohon menilai, pasal tersebut justru membatasi hak-hak tersangka karena dapat ditafsirkan secara luas.
“Kita menguji pasal 46 ayat 2 mempertegas apa yang dimaksud dengan hak tersangka. Apakah mempunyai hak dalam penangguhan penahanan. Karena jangankan penangguhan penanganan, izin berobat pun tidak diberikan,” tutur Rullyandi.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan banyak saran untuk perbaikan permohonan. “Di dalam posita (dalil), saudara masih mempersoalkan implementasi pelaksanaan norma. Kalau implementasi itu di luar tugas Mahkamah,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Senada dengan Patrialis, anggota majelis hakim pada sidang sesi kedua I Dewa Gede Palguna menegaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh implementasi norma dan kerugian karena normanya yang “cacat” adalah dua hal berbeda. Karena itu, pemohon diminta untuk mempertajam permohonannya tersebut.
“Kalau normanya yang cacat, itulah kewenangan kami. Cacat dalam artian ada dugaan bahwa norma itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” kata Palguna.
Majelis Hakim Konsitusi memberikan waktu hingga 29 September 2015 kepada pihak OC Kaligis untuk melakukan perbaikan permohonan. Terkait hal tersebut, Rullyandi sebagai kuasa hukum menyatakan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan tim kuasa hukum dan tentunya akan melakukan perbaikan sesuai saran-saran majelis hakim.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/16/20095201/OC.Kaligis.Layangkan.Tiga.Gugatan.MK.Minta.Permohonan.Difokuskan