Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan empat kali memiliki daya ikat yang sah. Karena itu, UUD 1945 berlaku semenjak ditetapkan.
Hal ini dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pada konferensi pers yang diselenggarakan di ruang sidang MK (25/01), menanggapi berbagai pemberitaan di media yang sedang hangat memperdebatkan eksistensi konstitusi pascaamendemen. Berbagai perdebatan yang muncul tentang konstitusi ini baik, supaya tidak hanya tertulis saja tetapi juga bisa dipersepsi dan dipahami secara luas oleh berbagai kalangan, kata Jimly.
Pada kesempatan ini, Jimly menjelaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari lima naskah. Pertama, naskah UUD 1945 yang ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, naskah perubahan pertama yang ditetapkan 19 Oktober 1999. Ketiga, naskah perubahan kedua yang ditetapkan 18 Agustus 2000. Keempat, naskah perubahan ketiga yang ditetapkan 9 November 2001. Kelima, naskah perubahan keempat yang ditetapkan 10 Agustus 2002. Kelima naskah ini dijadikan satu, yang masing-masing berlaku mengikat sesuai dengan tanggal ditetapkannya, jelas Jimly.
Terkait dengan adanya wacana yang meminta pencabutan UUD 1945 yang asli sebelum menerapkan UUD 1945 hasil amendemen, Jimly mengatakan bahwa UUD 1945 tidak perlu dicabut karena MPR waktu itu tidak sedang melakukan penggantian naskah UUD 1945, namun melakukan perubahan dengan sistem amendemen (melampirkan naskah perubahan pada naskah asli). Ada perbedaan pengertian antara diganti dan diubah. Kalau diganti, artinya yang lama dicabut dahulu, setelah itu naskah yang baru ditetapkan keberlakuannya, papar Jimly.
Ketika ditanya wartawan perihal perlu-tidaknya naskah UUD 1945 dimasukkan dalam lembaran negara, Jimly mengemukakan bahwa hal itu perlu dilakukan sebagaimana telah ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini, lanjut Jimly, untuk kepentingan pengumuman (diseminasi) dan kepentingan kesatuan rujukan atau referensi. Namun, hal ini tidak berarti UUD 1945 yang telah mengalami perubahan adalah tidak sah. Maksud dimasukkannya naskah UUD 1945 ke dalam lembaran negara adalah untuk memenuhi ketentuan administratif, sedangkan UUD 1945 tetap sah semenjak ditetapkan, tambah Jimly. Masalah segera dimasukkan atau tidaknya naskah UUD 1945 pascaperubahan ke dalam lembaran negara sepenuhnya terpulang pada pemerintah dan MPR yang berwenang melaksanakan upaya itu.
Saat ini, kata Jimly, yang terpenting adalah segenap jajaran kepemimpinan baik formal maupun informal di negeri ini, saling bahu-membahu menjalankan tanggung jawab melakukan civic education berupa retraining tentang sistem konstitusi yang baru, melakukan proses penyadaran hukum bagi masyarakat, dan menghadirkan berbagai diskusi dan silang wacana perihal substansi konstitusi, bukan lagi memperdebatkan eksistensi konstitusi. Konstitusi adalah titik kulminasi aspirasi rakyat. Konstitusi untuk semua. Konstitusi untuk rakyat, tegas Jimly
Terkait dengan persoalan ini, pada Jumat 26 Januari 2007, Jimly akan menerima kunjungan pimpinan fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) MPR di MK pukul 13.30 WIB. (Wiwik Budi Wasito)