Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa maupun menafsirkan putusan Mahkamah Partai Politik, termasuk pengadilan lainnya. Pandangan tersebut merupakan bagian dari keterangan yang disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Eka Tjahjana pada Sidang Pleno perkara uji materiil Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), pada Rabu (9/9), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 78/PUU-XIII/2015 ini memasalahkan ketentuan penyelesaian sengketa internal partai politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dan Pasal 2 angka 5 UU PTUN.
Widodo menyampaikan, sesungguhnya partai politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan dikelola secara baik guna mewujudkan sistem politik yang demokratis, sehingga dapat mendukung sistem presidensil yang efektif. Hal tersebut diwujudkan dengan membentuk sikap dan perilaku partai politik yang sistematik, sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku partai politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen anggota yang transparan dan akuntabel serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan partai politik yang mandiri, profesional, akuntabel serta otonom, kewenangan Mahkamah Partai yang dibentuk oleh masing-masing partai politik perlu diperkuat. Sehingga, lanjut Widodo, apabila terjadi sengketa kepengurusan internal partai, dapat diselesaikan secara mandiri oleh partai politik yang bersangkutan melalui Mahkamah Partai. Maka dari itu, Putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat, atau dengan kata lain tidak dapat dilakukan upaya hukum oleh lembaga peradilan atau lembaga yudisial.
“Mekanisme yang demikian perlu dibangun untuk menghindari berlarut-larutnya penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik yang pada akhirnya dapat mengganggu fungsi dan kinerja partai politik yang bersangkutan. Selain itu, penyelesaian perselisihan kepengurusan partai melalui Mahkamah Partai juga dimaksudkan agar penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik dapat dilakukan secara lebih cepat, efektif, dan efisien serta mendorong partai politik lebih bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan internal partai,” jelas Widodo.
Terkait adanya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang konflik Partai Golkar, Pemerintah meluruskan bahwa surat keputusan tersebut ditetapkan berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar sebagai putusan yang bulat, tanpa adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion). Oleh sebab putusan Mahkamah Partai Golkar bersifat final, Pemerintah berpendapat seharusnya tidak ada lagi proses yudisial di pengadilan negeri atau badan yudisial lainnya.
Dalam sidang perkara yang dimohonkan Gusti Iskandar selaku politisi Partai Golkar, Widodo juga menyampaikan bahwa surat keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait keputusan Mahkamah Partai Golkar seharusnya tidak ditafsirkan secara berbeda-beda. “Sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman, keputusan Mahkamah Partai Golkar tidak tunduk pada peradilan Tata Usaha Negara. Tegasnya Pengadilan Tata Usaha Negara tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menafsirkan putusan Mahkamah Partai Politik termasuk pengadilan lainnya,” tegas Widodo di hadapan Pleno Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Inkonsistensi Norma
Selain mendengarkan keterangan Pemerintah, Majelis Hakim Konstitusi juga mendengarkan paparan ahli yang dihadirkan Pemohon. Saldi Isra yang hadir selaku ahli dari Pemohon menyampaikan, mekanisme penyelesaian konflik internal partai politik baru dilaksanakan setengah hati oleh UU Parpol. Padahal, negara sudah dibatasi perannya dalam urusan partai politik. Pembatasan tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap eksistensi partai politik dengan kekuasaan tertinggi internal yang dimilikinya. Hal itu ditujukkan agar partai politik dapat menjalankan segala fungsi yang ada, tanpa harus takut adanya campur tangan negara.
Pembatasan ruang keterlibatan negara sekaligus adanya pengakuan akan kedaulatan partai politik, juga diiringi dengan pemberian hak penuh partai politik untuk menyelesaikan sengketa internal. Hal itu terlihat dari adanya mekanisme penyelesaian sengketa internal yang dilakukan melalui institusi Mahkamah Partai Politik yang dibentuk oleh masing-masing partai politik. Hanya saja, Saldi melihat pemberian otoritas penyelesaian masalah internal kepada Mahkamah Partai Politik melalui UU Parpol masih mengandung masalah substansi yang serius. Guru Besar Fakultas Hukum Univeritas Andalas tersebut menilai, norma dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol justru mengaburkan otoritas penuh penyelesaian sengketa internal partai politik yang diberikan kepada Mahkamah Partai Politik, terutama terkait dengan sengketa kepengurusan.
“Sehubungan dengan itu Undang-Undang Partai Politik justru memberikan otoritas pada mekanisme internal partai politik setengah hati, sebab Pasal 32 Undang-Undang Partai Politik menyerahkan langkah penyelesaian sengketa internal kepada Mahkamah Partai Politik dengan putusan yang bersifat final dan mengikat terkait dengan sengketa kepengurusan. Sementara Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik, justru menarik kembali otoritas tersebut dengan menyatakan jika penyelesaian perselisihan sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 Undang-Undang Partai Politik tak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Otoritas penuh partai politik menyelesaikan sengketa kepengurusan dengan Mahkamah Partai Politik bersifat final, justru dipangkas oleh rumusan norma Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik,” tukas Saldi sembari mengatakan rumusan kedua norma tersebut tidak konsisten.
Sebagaimana diketahui, Perkara yang terdaftar dengan nomor 78/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Gusti Iskandar yang bermaksud mengajukan diri sebagai calon Gubernur Kalimantan Selatan periode 2015-2020. Namun, pengajuan pendaftaran Gusti Iskandar sebagai calon Gubernur tersebut ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Pemohon, penolakan itu dilatarbelakangi berlarut-larutnya konflik Partai Golkar yang disebabkan adanya Pasal 33 ayat (1) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon membuka peluang putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan, diujikan ke pengadilan negeri.
Selain itu, Pemohon juga menganggap Pasal 2 angka 5 UU PTUN tidak tegas dalam memberikan makna bahwa ‘badan peradilan’ juga termasuk ‘Mahkamah Partai’ atau sebutan lain yang memiliki putusan bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan. (Yusti Nurul Agustin/IR)