Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung menuturkan, kepemilikan hak milik dan hak guna bangunan bagi warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA) harus disesuaikan dengan hukum perkawinan yang ada saat ini. Hal tersebut disampaikan Arie dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), pada Senin (7/9).
Menurut ahli yang dihadirkan Pemohon tersebut, saat disahkannya UU Pokok Agraria pada 1960, ketentuan hukum perkawinan yang berlaku adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bukan UU Perkawinan yang sekarang. Arie menyatakan, pembentukan UU Pokok Agraria pada saat itu didasari oleh seluruh buah pikiran sebagai antisipasi hilangnya hak-hak masyarakat Indonesia akan tanah di negaranya sendiri. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 26 ayat (2) Pokok UU Agraria yang intinya menyatakan setiap jual/beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing atau suatu badan hukum kecuali ditetapkan oleh pemerintah, adalah batal karena hukum, dan tanah jatuh kepada negara.
“Yang Mulia, Undang-Undang Pokok Agraria diundangkan pada tanggal 24 September 1960, usianya sudah cukup lama. Pada awal pembentukannya, tujuan utama adalah untuk unifikasi hukum agraria dan unifikasi hak-hak atas tanah,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 69/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut, Arie mengatakan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (2) UU Pokok Agraria, tidak mengizinkan pemindahan hak kepemilikan secara langsung kepada warga negara asing. Apabila hal tersebut dilakukan, maka pemilik diwajibkan mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat atau melepaskan pada negara. Peralihan hak tersebut merupakan akibat dari peristiwa hukum, baik perceraian atau perwarisan. “Hal itu tentu secara jelas dan terang menguatkan roh pembentukan UU Agraria yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut Arie, frasa warga negara Indonesia Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) harus dimaknai sebagai WNI tanpa terkecuali, baik WNI yang tidak kawin, atau yang kawin dengan sesama WNI, atau yang kawin dengan WNA agar tidak terjadinya kekeliruan dalam pemaknaan.
Terkait ketentuan harta bersama, hal itu diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 119 KUHPerdata, saat dilaksanakan perkawinan, maka menurut hukum harta yang diperoleh menjadi harta bersama sejauh hal itu tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Selama perkawinan, harta bersama itu tidak boleh ditiadakan dan diubah. Dalam perkawinan juga terjadi harta percampuran sehingga harta yang diperoleh suami sebelum dan sepanjang perkawinan, maka demi hukum menjadi harta istri, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut tidak terkecuali apabila seorang WNI menikah dengan WNA.
Permasalahannya, imbuh Arie, adalah banyak pihak beranggapan karena menjadi harta bersama, maka penguasaan pemilikan baik fisik yuridis menjadi milik bersama sehingga berakibat bagi pelaku perkawinan campuran. Sekalipun tanah hak milik dan hak guna bangunan dimiliki terdaftar atas nama WNI, menjadi milik bersama WNA. “Hal ini berakibat Pasal 21 ayat (3) UU Agraria tetap berlaku dan akhirnya berdampak hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status hak milik dan hak guna bangunan,” jelasnya.
Oleh karena itu, Arie sepakat dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh WNI yang melakukan kawin campur. Dengan catatan, adanya pengawasan yang diperketat apabila terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan hak milik dan hak guna bangunan tersebut jatuh ke tangan asing.
Diskriminasi
Alya Hiroko Oni, perempuan berdarah Indonesia-Jepang menuturkan kesedihannya sebagai anak dari pernikahan campuran. Sejak tiga tahun lalu, ibunya yang WNI tidak bisa mendapat hak milik atau hak guna bangunan meskipun telah membayar lunas satu unit rumah. “Pihak developer menolak untuk menyerahkan unitnya dengan alasan karena mama menikah Warga Negara Asing. Menurut developer dan notarisnya, undang-undang melarang mama untuk mempunyai rumah dengan hak milik dan hak guna bangunan,” tutur saksi yang dihadirkan Pemohon tersebut.
Alya yang baru menginjak usia 18 merasa ketentuan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan tersebut telah mendiskriminasi keluarganya dan tidak menjunjung asas dan prinsip keadilan. Ia mengaku pernah mendengar ayahnya meminta maaf karena telah menikahi ibunya. “Yang Mulia, saya mendengar papa berkata kepada mama, ‘Maafkan saya karena Anda menikah dengan saya sehingga menjadikan Anda kehilangan hak untuk membeli rumah, membeli tanah’ Mendengar itu, hati saya merintih,” ujarnya.
Ia pun mengungkapkan kekhawatirannya apabila kelak Ia menikah dengan WNA. Oleh karena itu, Alya memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon. “Permohonan tersebut merupakan permohonan kami juga anak-anak dari pasangan perkawinan campuran. Jeritan seluruh warga negara Indonesia pelaku kawin campur adalah jeritan kami juga para anaknya,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ike Farida selaku Pemohon menguji ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Menurut Pemohon, norma-norma tersebut telah menghilangkan haknya untuk memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Sebab, perjanjian pembelian apartemen yang dilakukan Pemohon dibatalkan sepihak oleh pengembang lantaran suami Pemohon adalah warga negara asing dan Pemohon tidak mempunyai perjanjian perkawinan. Pemohon melanjutkan, penolakan pembelian oleh pengembang tersebut dikuatkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang intinya menyatakan pembatalan surat pesanan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria. (Lulu Hanifah/IR)