Pakar Hukum Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman mengatakan bolak balik berkas perkara korban pelanggaran HAM tahun 1998-1999 antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung telah melanggar hak konstitusional korban maupun keluarganya. Pelanggaran hak konstitusional ini terkait hak untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan dari diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Konstitusi.
Herlambang, ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) menjelaskan, sepanjang tahun 2002 hingga saat ini Komnas HAM sudah menyerahkan tujuh berkas perkara pelanggaran HAM berat kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Ketujuh berkas perkara tersebut ialah peristiswa Trisaksi, Semanggi 1, Semanggi 2, peristiwa Mei 1998 tentang penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talang Sari 1989, peristiwa penembakan misterius, peristiwa 1965-1966, serta peristiwa Wasior dan Wamena Papua. Namun, Jaksa Agung terus mengembalikan tujuh berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dianggap belum cukup bukti dan penyelidik Komnas HAM tidak disumpah. Alasan lainnya, lanjut Herlambang, yakni belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa tersebut.
Di sisi lain, menurut Herlambang, Komnas HAM menyatakan telah menyerahkan kembali berkas hasil penyelidikan tersebut kepada Jaksa Agung karena menganggap tugas-tugasnya sebagai penyelidik telah selesai. Bolak-balik berkas tersebut, kata Herlambang, disebabkan silang pendapat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terkait Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM. “Kasus penyelesaian pelanggaran HAM berat ini ibarat bola dipimpong secara terus menerus. Pimpong Komnas HAM dan Jaksa Agung telah terus menyayat hati para korban, keluarga korban, dan publik,” ujar Herlambang dalam sidang perkara nomor 75/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (1/9).
Sementara, Pakar Hukum Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, inti gugatan yang diajukan para Pemohon berkaitan dengan hukum acara pidana yang diatur secara khusus untuk penanganan pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kekhususan tersebut ditujukan dalam upaya penegakkan hak atas keadilan dan penanganan secara khusus dalam penanganan tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Eva menjelaskan, kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam pelanggaran HAM berat telah tertuang dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 21 UU Pengadilan HAM. “Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM yang dapat membentuk tim ad hoc. Sementara kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimiliki oleh Jaksa Agung, namun tidak termasuk kewenangan untuk menerima laporan dan pengaduan,” jelasnya.
Hal tersebut, imbuh Eva, berbeda ketentuan dalam KUHAP yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan di dalam penerimaan laporan adalah sama. Lembaga penyelidikan dan penyidikan, baik untuk pelanggaran HAM berat maupun tindak pidana biasa, merupakan satu model integrasi proses peradilan pidana. Sayangnya, dalam kenyataannya hubungan kerja dari penyelidik dan penyidik di dalam UU Pengadilan HAM menjadi pertanyaan karena tidak setiap rekomendasi dari penyelidik diterima oleh penyidik dan dilakukan proses selanjutnya. “Oleh karena itu, akibat dari pandangan yang berbeda mengenai sistem ini tidak dapat berproses sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang,” tegasnya.
Rumusan Pasal 20 UU Pengadilan HAM, pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), menurut Eva rancu atau bias. Dalam UU tersebut, penyidik dibebani tugas untuk menemukan minimal 2 alat bukti karena diatur di Pasal 20 ayat (1) UU Pengadilan HAM, yaitu adanya bukti permulaan yang cukup. Padahal, kewenangan itu harusnya ada pada penyelidik.
“Pasal ini harusnya dinyatakan unconstitutional condition. Mahkamah Konstitusi harus membaca ulang ketentuan Pasal 20 ini berkaitan dengan hal-hal yang saya telah sebutkan di atas,” tutur Eva.
Sebelumnya, Payan Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan yang dihilangkan secara paksa pada kurun 1997-1998 dan Yati Uryati, Ibu dari Eten Karyana, korban dalam tragedi Mei 1998 mengajukan uji materi terhadap UU Pengadilan HAM, khususnya Pasal 20 ayat (3) dan penjelasannya.
Pemohon menuturkan, kasus-kasus yang menimpa keluarga Pemohon telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM namun perkara tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung kendati berkas perkara telah tujuh kali disampaikan Komnas HAM. Tindakan tersebut dinilai pemohon telah melanggar hak konstitusional pemohon, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap warga negara Indonesia.
“Hak-hak pemohon menjadi tidak dapat dipenuhi untuk mendapatkan kepastian hukum atas nasib keluarga anak-anak atau keluarga inti mereka yang hilang yang meninggal sejak pelanggaran HAM yang berat tersebut,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Chrisbiantoro pada sidang perdana, Kamis (25/6).
Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM :
(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM:
(3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Konstitusi sepanjang berbunyi, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyidikan tersebut kepada penyidik, disertai dengan petunjuk yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 Nomor 26 Tahun 2000 untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya tanggal hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut”.
Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa ‘kurang lengkap’ dalam penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dimaknai ‘belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan pada pasal dan penjelasan Pasal 8 dan Pasal 9 untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan’. (Lulu Hanifah/IR)