Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU Perusakan Hutan). Permohonan tersebut diajukan oleh PT. Inanta Timber Company yang menjalankan usaha di bidang kehutanan.
Diwakili Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum, Pemohon yang telah memiliki izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) merasa khawatir dengan pemberlakuan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bersifat multitafsir dan tidak jelas. Pemohon yang kini menghentikan sementara kegiatannya di bidang kehutanan mengaku pernah diperiksa penyidik Kepolisian lantaran pemberlakuan Pasal 50 ayat (2) tersebut.
Yusril menjelaskan, Pemohon telah diberi izin HPH pada satu area selama 30 tahun dengan ketentuan sesuai Rencana Kegiatan Tahunan (RKT). Namun, beberapa tahun berjalan, terjadi penebangan beberapa pohon di luar RKT tapi tetap di dalam kawasan area izin HPH. Kasus tersebut yang kemudian disidik dan diterapkan Pasal 50 UU Kehutanan. Padahal, menurut Pemohon, apabila satu instansi diberikan HPH, hutan tersebut pasti rusak. “Cuma ya rusaknya itu mereka mempunyai izin, dan ada cara-cara tertentu untuk menjaga hutan itu supaya tidak rusak,” ujar Yusril dalam sidang perkara nomor 98/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (26/8).
Lebih lanjut, Pemohon menyatakan, UU Perusakan Hutan yang disahkan pada tahun 2013 membuat agak jelas apa yang dimaksud dengan istilah perusakan hutan dalam UU Kehutanan. Namun, dalam kasus yang dialami Pemohon, perusakan hutan diduga dilakukan sebelum berlakunya UU Perusakan Hutan. “Oleh karena itu, penyidik menggunakan ketentuan-ketentuan di dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, di mana pengertian perusakan hutan itu sangat luas dan sangat multitafsir,” imbuhnya.
Adapun Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan:
“Setiap orang yang diberi izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”
Menurut Pemohon, maksud dari frasa ‘kerusakan hutan’ tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Sehingga, imbuh Pemohon, dari perspektif hukum pidana, norma Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan merumuskan satu delik formil. “Jadi, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, tapi kegiatan apa tidak dijelaskan. Sementara penjelasan Pasal 50 ayat (2) itu hanya menerangkan akibat dari perusakan hutan itu,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. “Kenyatannya di lapangan seringkali pasal itu (Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan) digunakan untuk menakut-nakuti orang. Adanya potensi untuk sewenang-wenang menerapkan norma Pasal 50 ayat (2) itu karena ketidakjelasan rumusan yang ada di dalam norma Pasal 50 ayat (2),” ujar Yusril.
Dalam sidang itu, Pemohon juga menyatakan hanya berfokus pada uji materi Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan. Adapun untuk UU Perusakan Hutan, Pemohon menilai UU tersebut sudah jelas dan tidak perlu diuji konstitusionalitasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk memperbaiki alasan permohonan (posita) dan tuntutan permohonan (petitum) lantaran masih mencantumkan pengujian UU Perusakan Hutan, sehingga terdapat inkonsistensi dalam permohonan. Selain itu, Pemohon juga perlu memperbaiki petitum yang menyatakan ‘menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon’ menjadi hanya ‘mengabulkan permohonan Pemohon’.
Majelis Hakim juga meminta Pemohon untuk memperbaiki kesalahan penulisan pada permohonannya dan menguraikan secara rinci kerugian yang dialami oleh Pemohon. “Kalau yang disampaikan secara lisan tadi, kita bisa tangkap bahwa ternyata di situ ada kerugian konstitusional, tetapi di dalam permohonan kalau kita mencoba melihat pada bagian legal standing itu tidak terurai secara rinci apa yang menjadi kerugian spesifik, baik yang kerugian sifatnya faktual maupun potensial,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto. (Lulu Hanifah/IR)