Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan sebuah fenomena ketatanegaraan yang menjadi tren di abad 20. Hal ini ditandai dengan berdirinya MK Austria yang kemudian dikenal sebagai MK pertama di dunia. Demikian disampaikan Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso saat menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Esa Unggul Jakarta, pada Jumat (21/8) siang, di Aula Gedung MK.
“Setelah Austria, ternyata gagasan itu berkembang ke berbagai negara, seperti di Eropa, Asia, termasuk di Indonesia,” ujar Fajar, didampingi Agus Pribadiono selaku Dosen FH Universitas Esa Unggul Jakarta.
Fajar melanjutkan, gagasan awal lahirnya MK adalah judicial review atau pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Secara praktik, judicial review sudah muncul dalam kasus ‘Marbury vs Madison’ di pengadilan Amerika Serikat.
Sejarahnya, saat pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1800, Thomas Jefferson berhasil mengalahkan Presiden sebelumnya John Adams. Dalam masa peralihan serah terima jabatan dengan Presiden terpilih, John Adams kemudian mengangkat orang-orang dekatnya untuk menjadi pejabat, termasuk menjadi hakim.
“Dia tandatangani SK pengangkatan pejabat di larut malam. Kejadian itu disebut dengan midnight justice. Setelah ditandatangani, SK pengangkatan itu tidak sempat disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan karena John Adams keburu lengser. Paginya, Thomas Jefferson sudah menjadi Presiden baru Amerika Serikat,” papar Fajar.
Dalam perkembangannya, James Madison sebagai sekretaris negara yang baru diangkat oleh Presiden terpilih Thomas Jefferson, menolak memberikan salinan surat pengangkatan itu kepada para pejabat yang bersangkutan. Salah seorang yang diangkat dan protes adalah William Marbury karena merasa surat pengangkatan dirinya sebagai pejabat sudah disetujui Kongres. Selanjutnya, Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu dipimpin oleh John Marshall. Marbury meminta agar Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan aparat pemerintah untuk menyerahkan surat pengangkatan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menganggap Marbury sesuai hukum memang berhak atas surat-surat pengangkatan itu. Namun, Mahkamah Agung juga menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat dimaksud, karena Pasal yang melandasi kewenangan tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Dari kasus itulah judicial review muncul.
MK Indonesia
Lebih lanjut, Fajar menuturkan latar belakang berdirinya MK di Indonesia. Ketika para tokoh bangsa sedang merumuskan UUD pada 1945, kata Fajar, sebenarnya sudah disinggung soal pentingnya keberadaan sebuah lembaga yang berwenang membanding undang-undang. Hal itu diusulkan oleh tokoh nasional, Mohammad Yamin. Tetapi usulan Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan berbagai alasan.
Gagasan membentuk MK di Indonesia baru muncul kembali setelah terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Tepatnya pada amandemen ketiga, MK kemudian terakomodir dalam Pasal 24C UUD 1945. Setelah melakukan studi banding terhadap MK di banyak negara, alhasil Negara Indonesia membentuk MK yang menganut model Kelsen (the kelsenian model), di mana MK sebagai pelaku kekuasan kehakiman yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. “Secara resmi MK Indonesia berdiri pada 13 Agustus 2003,” kata Fajar.
Dalam perkembangannya, MK Indonesia berperan sangat signifikan dalam pembangunan hukum dan demokrasi. Hingga kini, MK Indonesia kurang lebih sudah memutus 881 perkara pengujian undang-undang, memutus sejumlah sengketa kewenangan lembaga negara, memutus ratusan perkara Pemilu Legislatif dan Pemilukada.
Hal lain, Fajar menjelaskan tantangan ke depan bagi MK yaitu soal implementasi putusan MK di Indonesia maupun berbagai negara. “Implementasi putusan MK menjadi hal yang tidak sederhana. Berbeda dengan putusan pengadilan umum yang ada lembaga eksekutorialnya. Tidak ada sanksi kalau putusan MK tidak dilaksanakan,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/IR)