Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (19/8) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 86/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Ahmad Daryoko selaku Pembina Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN). Pada awal persidangan, kuasa hukum Pemohon Dina Ardiyanti langsung menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa Pemohon mencabut permohonan karena merasa belum siap dengan permohonannya.
“Dalam gugatan kami pada sidang pendahuluan, kami melihat memang banyak hal yang harus diperbaiki. Kami merasakan dalam waktu yang singkat, kami merasa belum cukup untuk melakukan perbaikan yang sempurna. Kami berharap, setelah ada pencabutan permohonan, kami akan mempersiapkan lebih baik lagi walaupun dengan Pemohon Prinsipal yang berbeda,” dalih Dina.
Sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan oleh seluruh muatan pasal yang terdapat dalam UU Ketenagalistrikan. Menurut Pemohon UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 alinea kedua, yang berbunyi, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Menurut Pemohon, frasa ‘dikuasai negara’ haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ‘bumi dan air dan kekayaan negara yang terkandung di dalamnya’. Termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Pemohon menilai, UU Ketenagalistrikan yang baru (UU No. 30 Tahun 2009) maupun UU Ketenagalistrikan yang lama (UU No. 20 Tahun 2002) merupakan undang-undang yang dibentuk karena adanya intervensi asing, antara lain oleh lembaga keuangan dunia seperti IMF (International Monetary Fund), ADB (Asian Development Bank), dan WB (World Bank). Menurut Pemohon, hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya keberadaan surat resmi bisnis LOI (Letter of Intent) yang merupakan dokumen tentang komitmen Pemerintah Republik Indonesia dengan IMF di bidang ekonomi. Dengan demikian, lanjut Pemohon, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berdaulat dalam membentuk UU Ketenagalistrikan karena adanya intervensi asing.
Berdasarkan alasan itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU Ketenagalistrikan batal demi hukum karena dalam pembentukannya terbukti diintervensi asing. Menurut Pemohon, pembentukan UU Ketenagalistrikan tidak berdaulat dan bertentangan dengan alinea kedua pembukaan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)