BANDUNG, KOMPAS.com - Pemerintah berupaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Padahal, pasal itu sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2006. Rencana pemerintah itu pun menimbulkan polemik di masyarakat.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mengaku heran pengajuan pasal penghinaan terhadap presiden itu diributkan. Menurut dia, pasal tersebut sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya.
"Ini perlu dijelaskan. Yang pertama dulu, pasal itu sudah ada sebelumnya, kok sekarang diributin? Kan zaman Pak SBY Rancangan Undang-Undang itu sudah dimasukkan, sudah dibahas kan di DPR, kan masuk. Kok sekarang diributin?" kata Yasonna di Bandung, Jawa Barat, Rabu, (5/8/2015).
Menurut Yasonna, pengajuan pasal tersebut berbeda dengan yang waktu itu dicabut oleh MK.
"Jadi, kalau dulu sifat ketentuannya delik umum, yang kalau orang yang menghina presiden langsung ditangkap. Zaman Pak Harto langsung ditangkap. Nah, sekarang itu menjadi delik aduan. Jadi orang yang menghina itu bisa ditangkap kalau orang yang dihina melapor, kalau (yang dihina) tidak lapor, ya tidak ditangkap," kata Yasonna.
Pasal ini, kata Yasonna, sudah mengakomodasi dengan apa yang diajukan oleh MK. "Ayat itu sudah mengakomodasi prinsip kesamaan di mata hukum," kata dia.
Yasonna menegaskan, sangat tidak adil dan diskriminatif jika seorang presiden tidak bisa melaporkan jika terjadi penghinaan.
"Kita boleh menggugat orang yang menghina kita, kecuali presiden. Yang bener aja lu. Iya kan, enak saja. Ini penting supaya kita jadi bangsa yang beradab menghargai hal-hal seperti itu," tuturnya.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/08/05/21143331/Yasonna.Pasal.Penghinaan.Sekarang.Beda.dengan.Zaman.Pak.Harto