Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) pada Rabu (5/8) siang, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 86/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Ahmad Daryoko, seorang Pembina Serikat Pekerja (SP) Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pemohon merasa dirugikan oleh seluruh muatan pasal yang terdapat dalam UU Ketenagalistrikan. Menurut Pemohon UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 alinea kedua, yang berbunyi, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Menurut Pemohon, frasa “dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan negara yang terkandung di dalamnya”. Termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Pemohon menilai, UU Ketenagalistrikan yang baru (UU No. 30 Tahun 2009) maupun UU Ketenagalistrikan yang lama (UU No. 20 Tahun 2002) merupakan undang-undang yang dibentuk karena adanya intervensi asing, antara lain oleh lembaga keuangan dunia seperti IMF (International Monetary Fund), ADB (Asian Development Bank), dan WB (World Bank). Menurut Pemohon, hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya keberadaan surat resmi bisnis LOI (Letter of Intent) yang merupakan dokumen tentang komitmen Pemerintah Republik Indonesia dengan IMF di bidang ekonomi. Dengan demikian, menurut Pemohon, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berdaulat dalam membentuk UU Ketenagalistrikan karena adanya intervensi asing.
Dengan alasan itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU Ketenagalistrikan batal demi hukum karena dalam pembentukannya terbukti diintervensi asing. Menurut Pemohon, pembentukan UU Ketenagalistrikan tidak berdaulat dan bertentangan dengan alinea kedua pembukaan UUD 1945.
Tidak Lengkap
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menilai ada ketidaklengkapan lampiran alat bukti. “Yang dimohonkan pengujian adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, tapi dalam lampiran alat bukti itu tidak ada. Saya melihat bukti pertama, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bukti kedua, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Bukti ketiga tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Bukti keempat tentang berita CNN Indonesia dan sebagainya. Sampai di belakang tidak ada Undang-Undang Ketenagalistrikan. Jadi mohon dilengkapi ya,” pinta Maria Farida.
Lebih lanjut, Maria Farida menasihati agar Pemohon mengubah tuntutan permohonannya. “Mengubahnya adalah mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan pasal dan undang-undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian menyatakan pasal dan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Maria Farida.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan Pemohon perihal kedudukan hukumnya (legal standing) dalam permohonan. “Anda ini dalam status sebagai apa? Itu yang mesti jelas di sini sebagai perorangan warga negara Indonesia. Mengapa itu harus jelas? Karena hak konstitusional dari masing-masing kualifikasi itu berbeda-beda. Misalnya, Anda sebagai perorangan warga negara Indonesia tentu tidak mempunyai yang namanya hak komunal hukum adat kan? Tentu berbeda. Atau badan hukum tidak mempunyai yang namanya hak atas kepercayaan. Dari kualifikasi yang berbeda itu ketika undang-undang yang Anda mohonkan pengujian ini berlaku, hak mana yang dirugikan? Itu yang jelas, harus dijelaskan dalam legal standing,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana)