BANDA ACEH - Ketua Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) Aceh, Safaruddin SH, meminta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera menyelaraskan Qanun Pilkada dengan Undang-Undang (UU) Pilkada. Sebab, kedua regulasi tersebut saling bertolak belakang dalam penegasan status jabatan PNS bagi calon kandidat yang maju sebagai kepala daerah.
Penyelarasan ini perlu dilakukan menyusul keluarnya peraturan baru tentang pilkada yang disahkan MK, yaitu UU Pilkada tahun 2015. Menurut Safaruddin, aturan pilkada di Aceh harus mengikuti aturan yang tinggi. “Jika ini tidak dilakukan, ditakutkan akan menjadi konflik regulasi lagi dalam pelaksanaan pilkada di Aceh,” katanya kepada Serambi, Selasa (28/7).
Safaruddin menjelaskan, dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf (h) dan Huruf (i) Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), tidak diatur secara tegas tentang pengunduran diri PNS dari jabatannya sebelum mencalonkan diri. Sementara UU Pilkada secara tegas menyebutkan setiap bakal calon harus mengundurkan diri dari jabatan PNS.
Karena itu perlu dibuat sebuah qanun yang mengatur khusus tentang pilkada. Apalagi, tambahnya, lex spesialis tidak berlaku dalam bidang politik di Aceh. Lex spesialis hanya mengatur tentang pelaksanaan adat istiadat di Aceh, pelaksanaan syariat Islam, mengatur peran ulama dalam pemerintahan, dan Wali Nanggroe.
“Saat ini qanun tentang pilkada sedang digodok di DPRA, kita meminta agar DPRA menyelaraskan dengan Undang-Undang Pilkada. Hal ini bertujuan agar regulasi di Aceh tidak bertabrakan dengan regulasi yang ditetapkan secara nasional,” jelasnya.
Dia menyatakan, berdasarkan Putusan No. 45/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 12/PUU-XI/2013, MK telah menetapkan bahwa setiap calon harus mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai kepala daerah.
Menurutnya, tidak ada pembatasan HAM dalam peraturan itu melainkan sebagai konsekuensi hukum atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik. “Karena itu GNCI Aceh meminta DPRA agar memperhatikan secara seksama dalam mengatur regulasi pilkada. Sebab jika salah sedikit saja, maka akan menimbulkan dampak yang besar,” ujar Safaruddin yang juga sebagai Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) ini.
Selain itu, GNCI Aceh juga meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan DPRA agar memperhatikan surat edaran KPU Nomor 302/KPU/VI/2015 tentang penjelasan aturan dalam PKPU Nomor 9 tahun 2015 tanggal 12 Juni 2015, dan Surat edaran KPU Nomor 949/SJ/VII/2015 tentang PNS mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Sementara itu pada bagian terpisah, anggota Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky SHI, meminta eksekutif untuk segera menyerahkan draf tentang rancangan qanun pemilihan kepala daerah untuk segera dilakukan pembahasan.
Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di ruang rapat Komisi I DPRA, Selasa (28/7). Dari komisioner KIP Aceh hadir Ridwan Hadi SH (ketua), Robby Saputra, Fauziah ST, Basri M Sabi, serta Hendra Fauzi. Sementara dari Komisi I dihadiri Tgk Abdullah Saleh (ketua komisi), Iskandar Usman Al-Farlaky, M Saleh, serta Djasmi Hass.
“Kemarin kita putuskan bahwa menyangkut dengan qanun ini masuk kumulatif terbuka. Nah, karena aturan mengenai ini harus disegerakan, maka segera bisa dibahas bersama. Kami sudah konfirmasi ke eksekutif bahwa draft sedang disusun oleh tim akademis Unimal,” kata Iskandar.
Dia menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengkaji mengenai aturan aktual menyangkut dengan perancangan qanun pemilihan kepala daerah.
Selain menyangkut dengan regulasi pilkada, juga dibahas tentang kendala dan sejumlah persoalan yang dihadapi KIP dalam menyongsong pilkada kedepan. Iskandar mengatakan, pihaknya meminta KIP agar segera membuat rancangan estimasi anggaran kebutuhan pemilihan kepala daerah nantinya, supaya bisa dimasukkan dalam APBA murni 2016.(mz)
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2015/07/29/gnci-minta-dpra-atur-regulasi-pilkada