JAKARTA, KOMPAS — Sidang pendahuluan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan di Mahkamah Konstitusi digelar, Kamis (30/7) di Jakarta. Melalui kuasa hukumnya, para pemohon memaparkan kerugian konstitusional di hadapan majelis hakim MK yang dipimpin Arief Hidayat.
Para pemohon uji materi tersebut ialah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan dua orang perorangan, yakni Adib Khumaidi dan Laminudin Daeng.
Adapun materi UU Tenaga Kesehatan yang diajukan ke MK antara lain Pasal 1 (Angka 1 dan Angka 6 sepanjang frasa "uji kompetensi"), Pasal 11 (Ayat (1) Huruf a dan m, Ayat (2), Ayat (14)), Pasal 12, dan Pasal 21 (Ayat (1)-(6) sepanjang frasa "uji kompetensi"), serta Pasal 21 Ayat (6). Permohonan uji materi tersebut didaftarkan di MK pada 22 Juni lalu.
Muhamad Joni, kuasa hukum pemohon menyampaikan, ada empat hal yang menjadi inti uji materi kliennya kepada MK. Pertama, terkait kewenangan UU tenaga kesehatan yang berlebih. Kedua, akan dibubarkannya KKI sebagai lembaga negara independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Ketiga, akan dibentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang mengoordinasi 14 konsil termasuk konsil kedokteran dan kedokteran gigi. Keempat, uji kompetensi yang seharusnya dilakukan oleh organisasi profesi justru menurut UU tenaga kesehatan dilakukan oleh perguruan tinggi.
Ketua Umum PDGI, Farichah Hanum, mengatakan, dalam UU tenaga kesehatan tanggung jawab dan kewenangan kompetensi tenaga medis (dokter dan dokter gigi) dikonstruksikan sama dengan tenaga kesehatan lain. Padahal, dalam layanan kesehatan, dokter dan dokter gigi adalah pelaku utama (captain of the team) dengan praktik kedokteran sebagai inti layanan.
"Profesi dokter dan dokter gigi istimewa karena punya kompetensi melakukan tindakan medis secara mandiri pada tubuh manusia. Sementara tenaga kesehatan lain menjalankan fungsi delegasi dokter dan dokter gigi," kata Hanum.
Ketua KKI Bambang Suprayitno menambahkan, UU tenaga kesehatan tidak perlu mengatur tenaga medis karena sudah diatur dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Ketika tenaga medis juga diatur dalam UU tenaga kesehatan, maka pengaturan profesi dan perlindungan masyarakat akan kacau.
Hakim MK, Aswanto, menyampaikan, kerugian konstitusional yang faktual maupun potensial yang dialami oleh pemohon tidak terlihat jelas dalam dokumen yang dibacakan. Selain itu, perlu diperjelas berapa pasal dari UU tenaga kesehatan yang dimohonujikan.
Hakim MK, Manahan Sitompul, menambahkan, pemohon perlu mengelaborasi aspek normatif, sosiologis, dan filosofis dari UU tenaga kesehatan yang bertentangan dengan konstitusi. "Harus tajam dan fokus," ujarnya.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/07/30/Sidang-Pendahuluan-Uji-Materi-UU-Tenaga-Kesehatan