Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mantan terpidana dapat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah, dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Hal tersebut terungkap saat MK menggelar sidang pengucapan putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Jumanto dan Fathor Rasyid, pada Kamis (9/7). Pada kesempatan itu, Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon terkait larangan mantan terpidana mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf g UU a quo.
Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan kesimpulan putusan Mahkamah menyatakan, MK berwenang mengadili perkara No. 42/PUU-XIII/2015 tersebut. Selain itu, Mahkamah juga menyimpulkan bahwa kedua Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini. “Konklusi. Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa mahkamah berwenang mengadili perkara a quo, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo, dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Anwar, di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada kesempatan itu, Anwar yang memimpin sidang juga membacakan amar putusan Mahkamah. Dalam amar putusan yang dibacakan Anwar tersebut, Mahkamah memutuskan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon terkait Pasal 7 huruf g UU Pilakda.
Pasal 7 huruf g UU Pilkada menyatakan:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
(g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 7 huruf g UU Pilkada tersebut inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Dengan demikian, mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah/ wakil kepala daerah, maka secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Jika ketentuan Pasal 7 huruf g UU Pilkada tidak dimaknai demikian, maka ketentuan tersebut dianggap inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ucap Anwar membacakan penggalan amar putusan Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga memutuskan Penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan yang sama, Mahkamah juga memutus Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada yang mengatur tentang dokumen persyaratan ‘surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara’, yang harus disampaikan saat pendaftaran pasangan calon, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, dalam pendapat hukumnya, Mahkamah menyatakan Pasal 7 huruf g UU Pilkada merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, termasuk hak untuk dipilih seperti yang dialami Pemohon. Sebab , pasal tersebut telah melarang terpidana yang diancam lima tahun penjara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Padahal, pencabutan terhadap hak seseorang, termasuk hak untuk dipilih maupun memilih hanya dapat dilakukan lewat putusan hakim. “Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945,” urai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membaca sebagian pendapat hukum Mahkamah.
Selain itu, Pasal 7 huruf g UU Pilkada dianggap telah memberikan hukuman tambahan kepada mantan narapidana. Padahal, mantan narapidana seperti Pemohon telah mendapat hukuman pidana sesuai putusan hakim. Mantan terpidana juga telah selesai menjalani masa hukumannya. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, Mahkamah menyatakan mantan terpidana yang telah mengumumkan secara terbuka di hadapan umum kalau yang bersangkutan adalah mantan terpidana, maka yang bersangkutan dianggap telah memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Dalam putusan ini, terdapat tiga Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Hakim Konsttitusi Maria Farida Indrati, Hakim Konsttitusi I Dewa Gede Palguna, dan Hakim Konsttitusi Suhartoyo. (Yusti Nurul Agustin)