Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang diajukan oleh para mahasiswa Muhammad Ibnu dkk, tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. Hal tersebut disampaikan Ketua MK Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (9/7) siang.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian dibacakan Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan Perkara No. 58/PUU-XIII/2015.
Mahkamah berpendapat, rasionalitas Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada sesungguhnya merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya politik. Hal ini dilakukan dengan cara membuat perumusan norma undang-undang, bahwa seseorang yang turut serta dalam kontestasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tidak serta merta menggugat suatu hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar.
Dengan demikian, menurut Mahkamah pihak yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah mereka yang hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Sedangkan para Pemohon dalam permohonan a quo adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pelajar/mahasiswa yang tidak sedang atau tidak hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon dan karenanya dengan sendirinya syarat kerugian hak konstitusional berikutnya menjadi tidak mungkin untuk dipenuhi.
Menurut Mahkamah, telah nyata bahwa para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia tidak mampu menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya sebagai akibat diberlakukannya Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015. Dengan demikian para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Mahkamah berpendapat, oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi UU Pilkada ini dimohonkan oleh Mohammad Ibnu dkk, selaku mahasiswa. Pemohon beranggapan bahwa Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang mengatur persyaratan pengajuan permohonan perselisihan perolehan suara dalam Pilkada, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut diangap bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum, yakni prinsip supremasi hukum, prinsip kesetaraan di hadapan hukum, dan prinsip penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada telah meminggirkan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan karena ada perlakuan berbeda antara warga negara yang masuk kualifikasi persyaratan yang dikualifikasikan oleh Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dan warga negara yang tidak termasuk kualifikasi pasal a quo. (Nano Tresna Arfana)