Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang diajukan oleh Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah.
“Menyatakan, dalam Pengujian Formil, menolak permohonan pengujian formil para Pemohon. Dalam Pengujian Materiil, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membaca amar putusan perkara Nomor 51/PUU-XIII/2015, pada Kamis (9/7) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Adapun permohonan yang dikabulkan terkait dengan ketentuan Pasal 22B huruf d dan Pasal 196 UU Pilkada. Ketentuan Pasal 22B huruf d menyatakan: “Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a... d. menerima laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilihan dari Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota” .
Menurut Mahkamah, telah terjadi kesalahan redaksional dalam penyebutan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 22B huruf d UU Pilkada. Mahkamah menilai frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” yang benar adalah “Panwaslu Kabupaten/Kota\". Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 17 UU Pilkada yang menyatakan, “Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota”.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon sepanjang mengenai frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 22B huruf d UU 8/2015 beralasan menurut hukum,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan pendapat Mahkamah.
Kemudian ketentuan Pasal 196 UU Pilkada menyatakan “Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Terkait dengan ketentuan tersebut, Mahkamah menilai terdapat kesamaan norma dan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 196 UU Pilkada dengan norma dan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 193 ayat (2) UU Pilkada. Mahkamah berpendapat kesamaan dalam dua pasal a quo akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penegak hukum dalam menerapkan sanksi dan/atau menunjuk pasal terhadap Ketua dan Anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara. Demi kepastian hukum, Mahkamah kemudian menyatakan Pasal 196 UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, maka hanya terdapat satu norma yang berlaku, yakni norma dalam Pasal 193 ayat (2) UU Pilkada.
Sementara itu, terkait dengan ketentuan lainnya yang diujikan Pemohon, yakni ketentuan Pasal 7 huruf r UU Pilkada, Mahkamah memutuskan pertimbangan dalam Putusan No.33/PUU-XIII/2015 sepanjang mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf r UU 8/2015 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan Pemohon. Kemudian terkait dengan pengujian Pasal 70 ayat (2) dan Pasal 75 ayat (5) UU UU Pilkada, Mahkamah menilai permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas.
Tolak Uji Formil
Mahkamah memutuskan untuk menolak pengujian formil yang diajukan Pemohon. Dalam pengujian formil tersebut, Pemohon beralasan antara lain revisi UU Pilkada telah memotong ketentuan dalam UU Pilkada yang belum pernah diimplementasikan dan materi muatan UU Pilkada tidak pernah dibahas dan disetujui paripurna DPR.
Terhadap dalil-dalil yang diajukan Pemohon, Mahkamah menilai alasan para Pemohon bukan merupakan alasan pembentukan undang-undang yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, melainkan alasan yang berkaitan dengan materi atau isi pasal-pasal dalam UU Pilkada. Maka berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah permohonan pengujian formil UU Pilkada yang dimohonkan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Triya IR)