LENSAINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi dan menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada tahun 2015.
MK malah menyatakan bahwa politik dinasti justru melanggar hukum.
Uji materil dilakukan kepada Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Menurut majelis hakim konstitusi menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945.
“Memang benar tidak semua perbedaan berarti diskriminatif, namun dalam kasus a quo tampak nyata perbedaan dibuat semata-mata untuk membatasi kelompok orang tertentu, yakni anggota keluarga petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri,” kata Hakim Patrialis Akbar saat membacakan putusan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/7/2015).
Selain bertentangan dengan UU 1945, Hakim MK menilai jika pasal 7 huruf r juga menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
MK menyadari, dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.
Dalam pasal 7 dijelaskan cara menjadi pemimpin daerah itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.
Ada pun yang dimaksud 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan pentahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Kuasa hukum A. Irwan Hamid, yang juga ipar petahana Kabupaetn Pinrang Sulsel, Irman PUtrasiddin mengatakan larangan politik dinasti dalam pencalonan kepala daerah adalah inkonstitusional dan tdiak mempunyai kekuatan hukum menginkat.
Irman menegaskan KPU tidak bisa lagi menolak bila ada kandidat yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
“Putusan ini juga sudah otomatis menjadi koreksi konstitusional terhadap UU Pilkada tersebut yang berlaku serta merta,” pungkasnya.
Namun, pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio yang berpendapat MK seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dari sisi hukum tapi dari sisi keadilan masyarakat.
Putusan MK ini bakal semakin membuat subur politik dinasti yang sedang diperangi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini bakal mempersulit regenerasi dan menutup ruang bagi tokoh baru potensial yang tak memiliki trah politik dinasti.
“Menghilangkan kesempatan tokoh renegerasi baru yang mumpuni,” kritiknya.
Setelah putusan MK ini diyakini ke depan akan banyak politik dinasti mendominasi di pilkada serentak. Dengan demikian bakal lahir banyak raja-raja kecil yang tidak punya kapasitas namun terpilih jadi kepala daerah karena kekuasaan dinasti politik keluarganya.
“Karena kalau politik dinasti ini hanya akan melahirkan raja-raja kecil, bupati-bupati boneka,” pungkasnya.@sita/bbs
Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2015/07/08/mahkamah-konstitusi-legalkan-dinasti-politik.html