OLEH DR AGUS RIEWANTO, SH MA
Publik tersentak Usulan Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi melalui pintu Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar 11, 2 triliun atau 20 miliar rupiah setiap anggota DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna DPR.
Dana Aspirasi merupakan model korupsi berjamaah gaya baru yang dilakukan seluruh anggota DPR. Sebab DPR periode 2014-2019 ini tak lagi memiliki kewenangan membahas anggaran secara teknis dengan pemerintah dan lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi pada 22 Mei 2014 telah membatalkan UU No 27/2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan UU No 17/2003 Tentang Keuangan Negara. Amar putusan MK menegaskan, telah membatalkan kewenangan DPR terutama Badan Anggaran (BA) untuk dapat membahas mata anggaran dalam RAPBN secara teknis bersama pemerintah yang mencakup kegiatan dan jenis biaya (satuan tiga) pada tiap-tiap kementerian atau lembaga pemerintah.
Maka, usulan dana aspirasi DPR merupakan cara baru untuk dapat melakukan korupsi politik berjamaah guna mendapatkan anggaran dari APBN. Sebab sebelum Putusan MK tersebut, anggota DPR 2009-2014 melalui Badan Anggran (BA) dapat dengan bebas dan leluasa minta jatah uang APBN melalui kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah. Hal itu bisa dengan strategi menitipkan kegiatan siluman maupun komisi/fee proyek.
Bahkan tak jarang ikut dalam proyek pemerintah. Ini bisa dilihat dalam kasus megakorupsi politik yang melibatkan sejumlah elite politisi dalam merengkuh fee proyek pemerintah. Misalnya, kasus Anas Urbaningrum, M Nazaruddin, Andi Mallarangeng, Jero Wacik, Angelina Sondakh, dan Luthfi Hasan Ishak.
Selain itu, pengusulan dana aspirasi telah secara nyata mendorong DPR untuk tetap ingin menguasai parlemen pada pemilu 2019 mendatang. Dana aspirasi yang cukup besar ini dipastikakan akan digunakan untuk memelihara dukungan politik konstituen di daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota DPR. Ini akan melanggengkan usaha meraih kursi DPR dan sekaligus menutup peluang lahirnya calon-calon anggota DPR baru. Sebab dapil merupakan tempat berkompetisi dalam pemilu telah dikapling, kuasai, dan dipagari kawat berduri uang haram APBN oleh anggota DPR periode sekarang.
Kian Rakus
Dana aspirasi ini telah memotivasi kuat politisi busuk untuk kian rakus untuk menggunakan uang sebagai cara meraih kursi DPR. Padahal jamak diketahui pertarungan untuk menjadi anggota DPR bukan sekadar uang dan modal material, tapi ide, gagasan, kapasitas, integritas, kepemimpinan politik nasional, serta uji kenegarawanan.
Dana aspirasi akan kian mengapitalisasikan kursi parlemen yang panas dan hanya dapat diraih para pemodal. Ke depan, kursi DPR tak lagi terhormat karena sudah tercemar perilaku para politisinya yang tak lagi beradab. Mereka tidak memiliki kepekaan moral akan penggunaan keuangan negara yang efektif dan efisien. Mereka hanya mau berpesta politik.
Tak pelak lagi, sesungguhnya motivasi usulan dana aspirasi sebagai strategi baru korupsi berjamaah sistemik yang dirancang secara khusus oleh semua anggota DPR. Ini terutama untuk mengembalikan modal uang dan material lainnya yang disebar ke dapil masing- masing pada pemilu 20014 lalu. Maka, sulit bagi DPR untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan dalam kampanye pemilu 2014, kecuali melakukan rekayasa sistemik lewat pengusulan dana aspiras dari APBN.
Pimpinan DPR mengeklaim tujuan utama dana aspirasi untuk memperjuangkan pemerataan distribusi dana pembangunan Jawa dan luar Jawa. Sesungguhya tujuan ini mustahil dapat terwujud. Jika dibaca secara cermat berdasarkan ketentuan dalam UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk pemilu 2014 lalu, dalam lampirannya dinyatakan jumlah dapil 77. Dapil terluas dan terbanyak di Jawa-Sumatera. Sedangkan dapil Maluku, Irian, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi tidak sampai setengah.
Maka konsekuensinya anggota DPR lebih didominasi mereka yang berasal dari Jawa-Sumatera ketimbang daerah lainnnya. Itulah sebabnya jika dana aspirasi yang diusulkan DPR berkisar Rp. 11, 2 triliun dan masing-masing anggota DPR akan mendapatkan Rp. 20 miliar berhasil, justru akan kian membuat jurang ketimpangan pembangunan yang kian menguat teruatama antara Jawa dan Luar Jawa.
Dapil Jawa akan mendapat 6,12 triliun (55% dari total dana aspirasi). Jika ditambah dengan dapil Sumatera yang mendapat2,4 triliun, maka total dapil dua pulau ini memperoleh 8,5 triliun (76%). Sedangkan dapil Irian, Maluku- Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan, hanya terjatah 3,5 triliun (26%). Fakta ini memperlihatkan, bukankah justru dana aspirasi akan kian melebarkan jurang ketidakadilan pembangunan dapil Jawa dan Luar Jawa.
Padahal secara ekonomi-politik pembangunan seharusnya pendanaan dana negara berupa fiskal chash flow tak diperlukan di Jawa yang secara geografi dan geopolitik telah menikmati kelimpahan pembanguan baik dalam bentuk infrastruktur maupun fasilitas ekonomi berkelanjutan.
Sedangkan untuk dapil luar Jawa, pemerintah seharusnya menghadirkan dana fiskal besar untuk menciptakan infrastruktur dan fasilitas pertumbuhan ekonomi. Untuk dapil Jawa negara hanya diperlukan hadir untuk menciptakan regulasi kuat agar investasi masuk ke daerah dan terjadi kompetisi ekonomi adil. Sedangkan dapil luar Jawa negara perlu hadir dalam bentuk suntikan keuangan guna menstimulus pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Dari fakta ini saja sulit diterima akal sehat dana aspirasi usulan DPR akan mampu mengangkat derajat keadilan pembangunan Jawa dan luar . Itulah sebabnya dana aspirasi hanya akal-akalan DPR turut serta menikmati dana APBN untuk mengembalikan modal kampanye 2014 yang amat liberal dan kapitalistik. Inilah cermin dari model gaya baru korupsi berjamaah semua anggota DPR.
Lebih dari itu, sesungguhnya dana aspirasi juga gambaran upaya DPR mencapuradukkan asas dan prinsip dasar sistem pemerintahan presidensial legislatif dan eksekutif dalam satu gerbong, sama-sama mengelola keuangan negara. Padahal dalam prinsip presidensial menempatkan posisi DPR dan Presiden saling kontrol (checks balances).
Sejatinya DPR berfungsi mengawasi kinerja pemerintah untuk memastikan pelaksanaan keuangan negara yang bersumber dari APBN. Sedangkan pemerintah melaksanakan keuangan negara. Namun dengan keinginan DPR juga mengelola dana aspirasi bersumber dari APBN, maka terjadi tumpang tindih fungsi pengawasan dan pelaksanaan keuangan negara.
Model ini berpotensi merusak sistem ketatanegaraan dan akan kian menyuburkan korupsi berjamaah anggota DPR. Maka, sangat pantas dan layak Presiden Joko Widodo menolak usulan dana aspirasi DPR guna mencegah korupsi politik di Senayan kian menggila. Penulis dosen FH dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/?32743-dana%20aspirasi%20rawan%20dikorup%20dpr