[JAKARTA] Upaya pemerintah yang akan menyerahkan pengelolaan sumber daya air kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus diikuti dengan penguatan kelembagaan dan modal.
Langkah ini penting mengingat kondisi perusahaan pengelola air milik negara hingga saat ini mayoritas dalam kondisi merugi.
Direktur Amrta Institute, Nila Ardhianie mengatakan, pemerintah harus memastikan bahwa secara kelembagaan dan sumber pendanaan, BUMN/BUMD yang akan ditugasi untuk mengelola sumber daya air kuat.
Selain menerbitkan peraturan pemerintah mengenai Pengusahaan Air dan Sistem Penyediaan Air Minum, pemerintah juga perlu menyiapkan peraturan perundangan untuk menguatkan BUMN/BUMD berikut dukungan pendanaannya.
Langkah pemutihan utang PDAM senilai Rp 4 triliun yang akan segera dilakukan Kementerian PU-Pera merupakan langkah positif, bisa mendukung aspek pendanaan. Namun hal itu belum cukup bagi BUMN/BUMD untuk mampu secara profesional mengelola sumber daya air.
"BUMN/BUMD untuk melaksanakan pengelolaan air di Indonesia harus kuat secara kelembagaan dan permodalan. Tanpa landasan hukum dan pendanaan yang kuat bagi BUMN/BUMD maksud pemerintah untuk mengelola sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sulit tercapai," jelas Nila Ardhianie menanggapi draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Pengusahaan Air dan Sistem Penyediaan Air Minum yang disusun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera), Selasa (30/6).
Dalam draf RPP mengenai Pengusahaan Air dan Sistem Penyediaan Air Minum, pemerintah akan membatasi swasta baik lokal dan asing dalam pengelolaan air di Indonesia.
Pasal 13 (2) RPP Pengusahaan Air menyebutkan bahwa pengusahaan sumber daya air dilakukan oleh: a. badan usaha milik negara, b. badan usaha milik daerah, c. badan usaha milik desa, dan d. badan usaha swasta. Dan dijelaskan yang dimaksud dengan ”badan usaha swasta” adalah badan usaha yang menggunakan modal dalam negeri.
RPP ini diproyeksikan untuk menggantikan UU Sumber Daya Air No 7/004 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 85/PUU-XI/2013). RPP ini ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum karena UU yang sekarang berlaku yaitu No. 11 Tahun 1974 tidak mampu mengakomodasi dinamika pengelolaan air saat ini.
Menurut Nila, pembatalan UU Sumber Daya Air meninggalkan pekerjaan rumah besar mengenai bagaimana memposisikan swasta dalam pengelolaan air yang sesuai dengan Konstitusi. Hal ini mendesak, namun juga harus dilakuka secara hati-hati mengingat besarnya skala persoalan.
Dikuasai Asing
Hasil penelitian Amrta Institute memaparkan bahwa secara umum swasta masuk dalam dua jenis industri air, yaitu Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) atau air perpipaan untuk sambungan ke rumah. Di sektor AMDK, Indonesia memiliki potensi bisnis yang besar. Posisi Indonesia adalah negara nomor empat pengkonsumsi AMDK terbesar di dunia. Jika menggunakan acuan harga pasar merek AMDK “Aqua”, pada tahun 2014 omzet AMDK mencapai Rp 61,6 triliun.
Dominasi asing dalam bisnis AMDK, berdasarkan perhitungan yang konservatif, mencapai 76 persen. “Keterlibatan swasta dalam negeri dalam bisnis AMDK hanya sekitar 24 persen. Sementara pemerintah hampir sepenuhnya tidak terlibat di sektor AMDK," ungkap Nila.
Berbeda dengan sektor AMDK, sektor SPAM masih sedikit dimasuki swasta. Berdasarkan jumlah sambungan, swasta baru berkontribusi sebesar 15,3 persen dari total sambungan. Layanan air perpipaan masih didominasi oleh perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD). Bentuk skema kerja sama dengan swasta beraneka ragam, seperti konsesi, BOT, BOOT, dan sebagainya. Konsesi penuh diberlakukan di DKI Jakarta dan Batam.
Menurut Prof. Frans Limahelu, pakar legislative drafting, langkah pemerintah untuk mengelola sumber daya air sudah sesuai dengan UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013.
Untuk itu maksud pemerintah mengelola sumber daya air perlu ditegaskan:
(a) dalam bagian konsiderans mengingat, bahwa dasar hukum Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan air adalah pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
(b) pada batang tubuh RPP yang mengatur tujuan RPP, ditulis secara tegas mengenai "penguasaan Negara atas Sumber Daya Air dan Pengusahaan dan Pengelolaan Air dan bukan hanya ditempatkan pada Penjelasan Umum RPP tersebut dan,
(c) RPP ini harus menjadi payung hukum pengusahaan air sehingga pe