Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) hadir sebagai Pihak Terkait dalam pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/6). Perkara No. 32/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Ikhwan Fahrojih dkk, para advokat yang merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Advokat.
Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Humphrey Djemat yang ketentuan one man one vote dalam Pasal dalam UU Advokat sesuai konstitusi. Tak hanya itu, ketentuan tersebut mencegah adanya tindakan manipulatif, seperti permainan politik uang dalam pemilihan ketua. Menurutnya, sistem one man one vote lebih bisa dipertanggungjawabkan.
“Dengan sistem one man one vote, satu anggota memberikan satu suara, rasanya ini lebih bisa dipertanggungjawabkan, lebih konstitusional dan bisa membuat perubahan kepada organisasi para advokat yang kita harapkan ke depan bisa lebih baik lagi,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Namun terkait dengan masalah anggaran AD/ART dalam menentukan susunan organisasi advokat, Humphrey menjelaskan adanya perlakuan yang diskriminatif dengan menentukan sistem anggaran dasar sebagai penentu susunan organisasi. Untuk itulah, harus dilengkapi dengan pemilihan ketua melalui metode one man one vote. “Oleh karena itulah, Kami dalam hal ini, AAI melihat bahwa harus ada perubahan di dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 itu, sehingga dinyatakan di situ bahwa yang bisa menjadi acuan untuk supaya bisa dasar yang kuat dalam para advokat ini menyalurkan aspirasinya itu adalah dengan menambahkan frasa yang berkaitan dengan bahwa anggaran dasar dan anggara rumah tangga namun juga ditetapkan dengan sistem pemilihan one man one vote, yaitu satu advokat dengan satu hak suara,” paparnya.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sekjen AAI Jhonson Panjaitan yang mengungkapkan bahwa permasalahannya adalah frasa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dalam Pasal 28 ayat (2) UU Advokat. Ia menilai norma tersebut mengebiri hak konstitusional para advokat. Selain itu, untuk menegaskan norma tersebut, ia memohon agar Mahkamah menafsirkan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat dengan one man one vote.
“Norma ini tidak tegas, maka yang terjadi adalah pengebirian hak-hak konstitusional daripada para advokat karena itu kami melihat norma ini sangat mendasar dan menjadi faktor yang menyebabkan kenapa demokrasi itu tidak bisa berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Karena itu kita minta supaya dengan cara one man one vote itu justru dimasukkan atau dimaknai ke dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” tegasnya.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon mengungkapkan, saat ini terdapat dua organisasi advokat yang mengaku sebagai satu-satunya organisasi advokat berdasarkan UU Advokat yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Padahal UU Advokat hanya mengamanatkan pembentukan satu-satunya organisasi untuk setiap advokat di Indonesia. Terjadi perpecahan di antara dua organisasi tersebut adalah karena ketidakpuasan dari sebagian anggota profesi advokat atas proses pemilihan pengurus pusat PERADI yang dilaksanakan tanpa proses yang terbuka dan demokratis, dengan memberikan hak suara yang sama bagi setiap anggota profesi advokat dalam memilih pengurus pusat PERADI.
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menyebutkan, “Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.”
Pasal 28 ayat (2) UU Advokat menyebutkan, “Ketentuan mengenai susunan organisasi advokat ditetapkan oleh para advokat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.” (Lulu Anjarsari)