Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dengan agenda mendengarkan mendengarkan keterangan ahli Pemohon pada Selasa (26/5) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang kali ini, Lanosin, ST. Bin H. Hamzah sebagai Pemohon dalam perkara 37/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan Pasal 7 huruf r UU a quo menghadirkan seorang ahli yakni Rifqinizamy Karsayuda. Sedangkan Ali Nurdin sebagai Pemohon dalam perkara 38/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan Pasal 7 huruf s UU a quo menghadirkan Nicolaus T. B. Harjanto sebagai ahli.
Menyampaikan keterangan, Rifqinizamy Karsayuda menyatakan terdapat dua permasalahan hukum dalam rumusan pasal yang mengatur larangan calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan patahana. Permasalahan pertama, lanjut Rifqinizamy, terjadi kesalahan memaknai dan meletakkan kata “konflik kepentingan”. Sedangkan permasalahan kedua yakni kesalahan peletakkan pembebanan hak dan kewajiban akibat munculnya konflik kepentingan.
“Problematika yang pertama adalah kesalahan memaknai dan meletakkan kata konflik kepentingan dalam rumusan Pasal a quo. Sedangkan problematika hukum yang kedua adalah kesalahan peletakkan pembebanan hak dan kewajiban, rechte and flechte, akibat munculnya konflik kepentingan yang dimaksud dalam rumusan Pasal a quo,” kata Rifqinizamy di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut Rifqinizamy, penggunaan kata “konflik kepentingan” selalu mengarah dan melekat pada pejabat publik. Hal ini dikarenakan pejabat publik memiliki kewenangan yang memungkinkan disalahgunakan. Sebaliknya, lanjut Rifqinizamy, konflik kepentingan tidak hadir pada orang di luar pejabat publik karena tidak ada kewenangan yang memungkinkan disalahgunakan. Rifqinizamy juga menyatakan seharusnya pembatasan hak dibebankan kepada petahana dan bukan kepada mereka yang akan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sementara itu, Nicolaus T. B. Harjanto memberikan keterangan ahlinya terkait kewajiban mengundurkan diri bagi pejabat BUMN/BUMD, PNS dan Anggota TNI/POLRI yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah. sedangkan bagi anggota legislatif cukup memberitahukan pencalonan kepada pimpinan. Menurut Nicolaus, setiap individu yang akan ikut dalam kompetisi politik perlu memiliki kondisi yang relatif sama secara politik. Untuk itu, lanjut Nicolaus, jika anggota legislatif tidak mengundurkan diri, maka dapat dipastikan mereka tidak akan bekerja secara optimal menjalankan fungsi representasi politik. Selain itu dari perspektif etika politik, maka sangat mungkin terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
“Dari perspektif etika politik para anggota legislatif yang maju ke pemilihan eksekutif juga sangat mungkin menyalahgunakan kekuasaan, fasilitas, maupun aset-aset lembaga yang sifatnya tangible maupun yang intangible untuk kepentingan kampanye dan pemenangannya,” kata Nicolaus, yang juga anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Tidak Ada Jaminan Kemenangan
Berpedoman hasil penelitian Pusat Studi Ketatanegaraan dan Otonomi Daerah Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Rifqinizamy menyatakan pilkada yang melibatkan kerabat petahana tidak serta-merta memberikan garansi kemenangan kepada kerabat petahana.
“Dari data itu, Yang Mulia, Ahli ingin menyampaikan bahwa keberadaan kerabat petahana tidak serta-merta membuat pilkada tidak fair dan memberikan garansi kemenangan kepada mereka,” papar Rifqinizamy, dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Menanggapi keterangan ahli, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan apakah data yang dimiliki oleh ahli menyebutkan kemenangan kerabat petahana disebabkan adanya konflik kepentingan. “Saudara Ahli tadi sudah menyampaikan beberapa data, apakah Saudara punya data bahwa kemenangan para kerabat petahana itu disebabkan adanya conflict interest dari petahana kepada yang menang?” tanya Patrialis.
Menjawab pertanyaan, Rifqinizamy menyatakan bahwa berdasarkan data, maka keikutsertaan kerabat petahana dalam pilkada tidak berkorelasi positif terhadap kemenangannya. “Kami melihat ada kecenderungan, bahwa semakin besarnya keikutsertaan kerabat petahana dalam pilkada-pilkada di Indonesia dalam rentan waktu 2010 sampai 2013, itu tidak berkorelasi positif terhadap kemenangannya, bahkan hampir 55% kalah,” urai Rifqinizamy.
Kemudian, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga menanyakan apakah ahli mempunyai hasil studi terkait cara yang dilakukan negara-negara dalam proses transisi demokrasi menghindari praktik yang tidak demokratis. Menjawab pertanyaan itu, Rifqinizamy menyatakan tidak mempunyai data tersebut. Namun menurutnya, hak asasi manusia merupakan persoalan universal yang dipertahankan negara-negara di dunia. “Ahli tidak memiliki data di negara-negara transisi demokrasi, bagaimana mereka menyelesaikannya, tapi Ahli meyakini persoalan hak asasi manusia sebagai persoalan universal itu pasti dipertahankan di manapun di negara-negara yang ada dunia ini,” terang Rifqinizamy. (Triya IR)