Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ahli dan pihak terkait pada Kamis (21/5) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang kali ini, MK menggabung pemeriksaan atas perkara nomor 33,34,37,38,42,46,49,51/PUU-XIII/2015. Adapun ketentuan yang diuji yakni larangan calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan patahana, yaitu memiliki hubungan darah dan ikatan perkawinan. Selain itu, ketentuan kewajiban pengunduran diri bagi TNI, Polri, PNS dan pejabat BUMN/BUMD yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga turut diujikan.
Pada kesempatan itu, Presiden diwakili oleh Direktur Jenderal Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi dan DPR diwakili Anggota Komisi III John Kennedy Aziz. Sedangkan Pemohon perkara nomor 33,34/PUU-XIII/2015 menghadirkan empat orang ahli yakni Ahmad Syarifuddin Natabaya, Harjono, Saldi Isra dan Aminuddin Ilmar.
Terhadap pokok permohonan, DPR diwakili John Kennedy Aziz menyatakan bahwa semangat untuk memberlakukan aturan larangan calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah untuk memperbaiki kualitas pemilihan kepala daerah. Sehingga, lanjut Aziz, dalam menjalankan pergantian kepemimpinan akan lebih berbudaya dan bermoral. Sedangkan terkait dengan adanya diskriminasi dalam ketentuan kewajiban pengunduran diri bagi TNI, Polri, PNS dan pejabat BUMN/BUMD yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah, DPR menyerahkan permasalahan tersebut kepada MK.
Kemudian, Presiden diwakili Mualimin Abdi menyatakan bahwa penentuan syarat-syarat menduduki jabatan publik merupakan kebijakan hukum terbuka. Di akhir keterangannya, senada dengan DPR, Mualimin menyatakan menyerahkan permasalahan konstitusionalitas pasal yang diuji kepada MK.
“Yang Mulia, kesimpulannya bahwa berdasarkan keterangan Pemerintah, baik yang disampaikan pada persidangan terdahulu maupun pada pesidangan sekarang, maka Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,” kata Mualimin di hadapan majelis hakim sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Penghilangan Hak Politik
Menyampaikan keterangan ahlinya, A.S. Natabaya berpendapat bahwa upaya untuk mengatur penyalahgunaan wewenang oleh petahana seharusnya bukan dengan cara menghilangkan hak seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi. Tetapi dengan membuat aturan yang terkait penyalahgunaan wewenang petahana tersebut. Senada dengan Natabaya, Harjono juga menyatakan bahwa jika terjadi permasalahan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, maka aturan tentang pelaksanaan yang harus dibenahi. Bukan malah mengurangi hak politik seseorang. Sehingga, lanjut Harjono, ketentuan larangan adanya konflik kepentingan tidak jelas dan tidak mempunyai dasar hukum.
“Ada persoalan-persoalan di dalam pelaksanaannya, maka jangan hak politiknya yang dikurangi. Persoalan pelaksanaannya itu yang kemudian aturannya yang harus disesuaikan. Ini mana yang harus dipertahankan, mana yang harus dikorbankan enggak jelas di sini. Inilah hal-hal yang saya katakan bahwa ketentuan undang-undang ini menurut saya tidak jelas dan kemudian tidak ada dasar hukumnya sekali lagi,” papar Harjono.
Sementara itu, Saldi Isra menyampaikan bahwa permasalahan pokok dalam permohonan terkait ketentuan yang memberikan pembatasan terhadap keluarga petahana. Menurut Saldi, seharusnya yang mendapatkan pembatasan adalah petahana, bukan keluarga petahana. Ketika keluarga petahana yang dibatasi, lanjut Saldi, maka sama saja dengan menghilangkan hak politik warga negara untuk masuk ke kontestasi politik. Selain itu, Saldi juga mengatakan bisa saja seorang petahana menyuruh orang lain yang bukan keluarganya untuk maju dan mendapat dukungannya. Hal ini yang kemudian menurutnya mengakibatkan tidak adanya alasan hukum yang kuat untuk membatasi hak politik keluarga petahana.
“Jadi tidak ada alasan hukum yang kuat kemudian keluarga petahana dibatasi, sementara pihak lain yang mungkin punya kepentingan yang sama dengan petahana itu tidak dibatasi. Jadi jauh lebih baik sebetulnya petahananya yang dibatasi bukan pihak di luar itu,” kata Saldi.
Lebih lanjut, Saldi menyatakan bahwa sebenarnya salah satu pihak yang lebih berpotensi untuk menyalahgunkan wewenang adalah penyelenggara pemilu. Tetapi, lanjut Saldi, tidak terdapat larangan yang sama seperti keluarga petahana bagi keluarga penyelenggara pemilu. “Kalau ditanya siapa yang berpotensi melakukan penyalahgunaan kewenangan, penyelenggara pemilu termasuk salah satu pihak yang potensial, tapi kenapa tidak dilarang. Enggak ada larangan untuk keluarga, mereka nanti yang akan mengawasi, mereka yang akan menyelenggarakan tahapan, tapi enggak ada larangan untuk keluarga mereka-mereka yang ada pada posisi penyelenggara pemilu. Jadi, saya menganggap rumusan pasal ini memang harus ditinjau kembali,” kata Saldi.
Menanggapi keterangan ahli, Ketua MK Arief Hidayat menanyakan terkait dengan prinsip bahwa hak asasi bisa dibatasi dengan undang-undang. Menjawab pertanyaan itu, Natabaya menyatakan bahwa makna dibatasi dengan undang-undang tidak bisa dibaca hanya cukup dengan undang-undang. Artinya, undang-undang cuma sekedar bentuk peraturannya, tetapi secara substansi harus ada alasan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. “Tidak berarti seenaknya undang-undang boleh, itu bentuknya. Artinya, tidak boleh diatur dengan Peraturan Pemerintah, tidak boleh dengan Keppres, tapi ada alasan,” kata Natabaya. (Triya IR)