Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) membantah dugaan perpecahan organisasi profesi advokat diakibatkan oleh berlakunya aturan one man one vote dalam pemilihan ketua organisasi advokat. Hal ini disampaikan oleh Harlen Sinaga yang mewakili PERADI sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara No. 32/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Ikhwan Fahrojih dkk, para advokat yang merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Advokat.
“Dugaan perpecahan di Peradi bukan karena one man one vote. Karena itu, haruslah dicari fakta hukum sesungguhnya. Dari alasan-alasan Para Pemohon, dapatlah diketahui bahwa ada upaya untuk melakukan pemilihan Ketuan Umum Peradi dengan one man one vote dan berdirinya KAI karena persoalan one man one vote. Pernyataan Para Pemohon tersebut di atas, tidak benar karena tidak sesuai dengan fakta hukum,” terangnya di hdapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, Harlen menjelaskan substansi permohonan Para Pemohon tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena substansi permohonan dari Para Pemohon bukan masalah konstitusionalitas. “Namun yang menjadi substansi persoalan adalah timbulnya masalah antara Pemohon dengan Termohon terkait Peradi dalam pelaksanaan sistem atau cara pemilihan Ketua Umum Peradi,” urainya.
Dalam sidang tersebut, hadir pula DPR yang diwakili oleh I Putu Sudiartana. DPR meminta agar MK menolak permohonan para pemohon. DPR menilai permohonan pemohon memiliki ketidaksesuaian antara posita dengan petitum.
“Dengan tidak diuraikan alasan-alasan mengenai penghapusan frasa tersebut oleh Para Pemohon, maka DPR tidak memandang perlu untuk menyampaikan keterangan mengenai hal dimaksud. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Advokat tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang 1945,” terangnya.
Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan saat ini terdapat dua organisasi advokat yang mengaku sebagai satu-satunya organisasi advokat berdasarkan UU Advokat yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Padahal UU Advokat hanya mengamanatkan pembentukan satu-satunya organisasi untuk setiap advokat di Indonesia. Hal ini terjadi karena ketidakpuasan dari sebagian anggota profesi advokat atas proses pemilihan pengurus pusat PERADI yang dilaksanakan tanpa proses yang terbuka dan demokratis, dengan memberikan hak suara yang sama bagi setiap anggota profesi advokat dalam memilih pengurus pusat PERADI.
Menurut Pemohon, sebenarnya dapat dimaklumi apabila proses pemilihan pengurus pada periode awal (2005-2010) dilakukan melalui penunjukkan oleh delapan organisasi advokat yang ada sebelumnya, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Oleh karena batas waktu yang diberikan oleh Undang-Undang Advokat dalam membentuk organisasi advokat cukup singkat yaitu dua tahun sejak pengesahan UU Advokat, putusan MK juga telah mengukuhkan keberadaan PERADI sebagai satu-satunya organisasi advokat. Namun seharusnya tidak terjadi untuk proses pemilihan pengurus PERADI untuk periode selanjutnya, dimana telah tersedia banyak waktu untuk mempersiapakan proses pemilihan one man one vote. (Lulu Anjarsari)