Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dengan agenda mendengar keterangan Presiden dan Mahkamah Agung (MA) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/5) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang terdaftar dengan nomor 36/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh para advokat, Abraham Amos, dkk, yang menguji ketentuan sumpah advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU a quo.
Mewakili Presiden, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi mengatakan sudah terdapat pengaturan yang tegas bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah dimohonkan ke MK tidak dapat dimohonkan kembali. Pengajuan dapat dilakukan lagi ketika ada alasan lain atau berbeda dengan permohonan sebelumnya. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo pernah diputus oleh MK melalui putusan nomor 101/PUU-VII/2009 pada 30 Desember 2009. Untuk itu, Wicipto menyatakan terjadinya hambatan yang dialami Pemohon untuk bekerja dalam profesi advokat bukan karena norma yang terkandung dalam Pasal a quo, melainkan sebuah permasalahan penerapan norma.
“Bahwa terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya surat Mahkamah Agung yang melarang pengadilan tinggi mengambil sumpah para calon advokat sebelum organisasi advokat bersatu,” urai Wicipto dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Kemudian, Wicipto juga menyatakan bahwa pengambilan sumpah oleh pengadilan tinggi merupakan perintah undang-undang, sehingga harus dilaksanakan. “Penyelenggaraan sidang terbuka pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh undang-undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya,” kata Wicipto.
Untuk itu, Wicipto mengatakan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan tinggi wilayah domisili hukumnya” dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang kepada pengadilan tinggi. Wicipto juga mengatakan bahwa ketentuan tersebut tidak boleh dikaitkan dengan adanya dua organisasi advokat yang ada, yakni Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU a quo menyatakan bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Terhadap hal ini, berdasar pada putusan MK sebelumnya, Wicipto mengatakan bahwa kewajiban pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah para calon advokat tanpa memperhatikan organisasi advokat hanya bersifat sementara. Jangka waktunya adalah 2 tahun sampai terbentuknya organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Organisasi tunggal ini dibentuk melalui kongres para advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang ada. Jika memang setelah jangka waktu 2 tahun organisasi advokat tunggal tersebut belum terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan umum.
Menimbang hal-hal tersebut, Wicipto mengatakan bahwa permohonan Pemohon merupakan masalah penerapan norma dan lebih tepat jika diajukan ke peradilan umum, bukan ke MK. “Dengan demikian terhadap dalil para Pemohon atas ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Advokat, menurut Pemerintah sudah jelas dan tepat apabila isu dan penerapan norma ini diajukan ke peradilan umum, bukan pada Mahkamah Konstitusi,” tandas Wicipto.
MA Tak Berkepentingan
Sementara itu, MA yang hadir sebagai pihak terkait diwakili Ketua Muda Pembinaan MA, Takdir Rahmadi menyatakan bahwa MA menyerahkan permasalahan konstitusionalitas ketentuan yang diuji kepada MK. Lebih lanjut, Rahmadi menyampaikan bahwa MA memperkenankan jika memang pengambilan sumpah advokat tidak dilakukan di hadapan sidang pengadilan tinggi. MA juga tidak mempermasalahkan jika sumpah advokat diserahkan pada internal organisasi advokat sendiri.
“Mahkamah Agung ke depan justru menginginkan, tidak masalah jika misalnya pengambilan sumpah itu tidak harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan tinggi. Jadi, kita bersifat imparsial, diserahkan kepada para profesi itu sendiri. Itulah inti dari sikap Mahkamah Agung. Bahwa Mahkamah Agung tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang bertikai itu. Jadi, intinya diserahkan kepada organisasi profesi advokat itu sendiri,” urai Rahmadi.
Mempertegas keterangan, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanyakan apakah MA secara tidak langsung telah menarik surat edaran MA yang intinya tidak akan mengambil sumpah sebelum organisasi advokat bersatu. Menjawab pertanyaan itu, Rahmadi menyatakan bahwa MA sebenarnya tidak menarik surat edaran tersebut. Namun, lanjut Rahmadi, ketika surat edaran tersebut dikeluarkan, masih belum terdapat pengujian ketentuan sumpah advokat di MK. Untuk itu, setelah ada pengujian norma, maka MA menyerahkan isu konstitusionalitas norma tersebut kepada MK.
“Kita tidak ada interest, tidak ada kepentingan untuk mempertahankan, harus mono-bar atau single-bar, atau multi-bar dan kaitannya juga dengan penyumpahan harus di hadapan sidang terbuka pengadilan tinggi. Tidak ada kepentingan untuk mempertahankan itu. Jadi serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Mahkamah Konstitusi ke depan,” tandas Rahmadi.
Pada sidang sebelumnya, salah satu Pemohon Johni Bakar menyatakan bahwa meskipun sudah terdapat putusan MK, namun ketika organisasinya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) memohon penyumpahan, Pengadilan Tinggi tetap menolaknya. “Kalau persoalan masalah sumpah, kami sampaikan dengan bahasa awamnya kami, kami sudah mohonkan, organisasi ini sudah mohonkan sumpah, tetapi pengadilan tinggi yang tidak mau. Dimana salahnya kami, organisasi kami sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak dikasih, ujung-ujungnya ini dijadikan senjata untuk menjegal kami beracara, di mana keadilan,” papar Johni. (Triya IR/Yusti NA)