Afdoli, Pemohon Uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang perbaiki permohonan. Perbaikan antara lain mengenai legal standing pemohon sebagai Bakal Calon Bupati Simalungun.
Pemohon yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan hak konstitusionalnya telah dirugikan lantaran adanya ketidakpastian hukum tentang pemilihan kepala daerah. Hal tersebut berdampak pada hak dipilih Pemohon sebagai calon bupati melalui jalur perseorangan menjadi terabaikan. “UU No. 8/2015 mengakibatkan langkah pemohon sebagai Bakal Calon Bupati Simalungun melalui jalur perseorangan lebih sulit dengan penambahan jumlah dukungan sebanyak 3,5% atau adanya penambahan sebanyak 14.882 dukungan KTP yang seharusnya tidak perlu,” tuturnya pada sidang perkara nomor 46/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (6/5).
Selain itu, uji formil terhadap UU tersebut tetap diajukan pemohon dengan batu uji Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Pemohon juga tetap memohonkan provisi dalam petitumnya, yakni memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menghentikan atau setidak-tidaknya menunda tahapan pemilihan gubernur, bupati, walikota sampai adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan tetap.
Sebelumnya, Pemohon menyatakan terdapat tiga hal yang menjadi pokok permohonannya. Pertama, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota harus sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, walikota adalah kepala pemerintahan di tingkat provinsi kabupaten dan kota yang dipilih secara demokratis.
“Secara jelas dan tegas, rakyat ini menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah gubernur, bupati, dan walikota. Namun di dalam perubahan dipilih secara paket bersama wakilnya,” jelasnya.
Kedua, Pemohon menggugat materi Pasal 7 huruf s, t, dan u UU 8/2015 terkait dengan persyaratan calon kepala daerah. Menurutnya, terjadi diskriminasi bagi PNS yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah karena dituntut untuk mengundurkan diri, baik secara pekerjaan maupun jabatan. Sementara peserta kandidat calon yang lain, seperti pegawai BUMN, cukup mengundurkan diri dari jabatannya, sementara dari pekerjaan tetap.
“Anggota calon yang berdasarkan dari anggota maupun ketua DPRD, DPR yang berlatar belakang legislatif tetap secara jabatan maupun pekerjaan. Begitu juga dengan incumbent karena tidak tertulis dan sudah pernah diputuskan MK bahwa incumbent tidak mengundurkan diri secara jabatan,” urainya.
Terakhir, Pemohon menilai adanya diskriminasi pada calon perseorangan. Menurut Pemohon, calon kepala daerah jalur perseorangan menggunakan data jumlah pemilih sebagai dasar, sedangkan jalur politik menggunakan data suara sah. “Mengapa jalur perseorangan harus menggunakan dasar perhitungan data jumlah penduduk? Padahal logikanya, ketika kita mengumpulkan KTP, yang kita hitung adalah dasarnya orang yang mempunyai KTP, dan anehnya lagi partai politik menggunakan data suara sah,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)